Kematian didefinisikan secara ringkas sebagai berpisahnya ruh dari jasad. Berhentinya segala fungsi organ tubuh merupakan akibat dari hal itu. Tulisan singkat ini lebih sebagai analogi sederhana bahwa kematian tidaklah mengenal umur.
Bagi masyarakat Jawa, perkembangan buah kelapa memiliki arti filosofis yang membuktikan bahwa kematian tidaklah mengenal usia. Yang lebih tua tidak mesti lebih dulu meninggal dunia daripada yang lebih muda.
Kelapa memiliki perkembangan bertahap mulai dari : bluluk, cengkir, degan, dan krambil.
Bluluk ialah bentuk buah kelapa yang berukuran sebesar telur ayam.
Cengkir ialah bentuk lanjutan dari bluluk yang berukuran sebesar tangan orang dewasa dan belum memiliki daging buah.
Degan ialah buah kelapa muda yang memiliki tekstur kenyal pada daging buah. Banyak orang menikmati degan dengan cara memakan daging buah dan meminum airnya. Nikmat dan tentu saja segar.
Krambil ialah buah kelapa tua yang memiliki tekstur keras pada daging buah. Inilah tahap buah kelapa yang sebenarnya. Krambil banyak dimanfaatkan sebagai santan dan bahan pelengkap makanan.
Bluluk, cengkir, degan dan krambil tumbuh bersama dalam satu ikatan dan berada di bagian atas pohon. Secara kuantitatif, tahapan dari bluluk menjadi krambil sebanding dengan ukuran berat. Ukuran paling ringan dimiliki oleh bluluk sedangkan ukuran paling berat dimiliki oleh krambil.
Bila ikatan bluluk, cengkir, degan dan krambil yang berada di bagian atas pohon kelapa sebagai kehidupan, maka jatuhnya salah satu bagian dari keempatnya ke tanah ialah kematian.
Ukuran terberat tidak selalu jatuh terlebih dahulu ke tanah tetapi ada kalanya ukuran teringan lebih dulu jatuh dari ikatan. Itu faktanya.
Usia tua belum tentu lebih dahulu meninggal dunia namun ada kalanya usia muda lebih dulu menemui kematian.
Begitulah analogi memahami kematian yang dipetik dari kejatuhan buah kelapa dari pohonnya.
Satu pelajaran berharga yang diberikan oleh buah multi-manfaat.
Allahu Musta'an.
Comments
Post a Comment