Barongsai. Ondel-ondel. Dua kesenian tersebut selalu saya lihat di perumahan Poris, Kota Tangerang.
Bukan pertunjukan seni sarat nilai keindahan namun kesenian yang berubah menjadi alat untuk mencari uang.
Ngamen. Begitulah istilah yang tepat.
Prihatin ?
Tentu.
Ngasih uang ?
Tidak.
Tega banget ?
Biarin.
Saya tidak tahu pasti sejak kapan barongsai dan ondel-ondel ngamen di sepanjang Stasiun Poris hingga kompleks perumahan Poris.
Yang pasti kedua pertunjukan jalanan itu masih ada sampai tulisan ini dibuat.
Setiap hari.
Saat sore hingga malam.
Maklum saja di lokasi tersebut banyak berjejer pertokoan, pasar dan permukiman.
Mereka beraksi tidak sendiri tetapi bersama sama membentuk kelompok. Tampaknya dua kesenian jalanan itu dilakukan secara terorganisir.
Saya tidak merasa terganggu oleh kehadiran barongsai dan ondel-ondel tiap sore hari karena hadirnya mereka tidak langsung mengganggu privasi saya.
Mereka juga tidak memaksa untuk memberi uang atas atraksi yang telah mereka lakukan.
Santai saja.
Tidak ada yang diresahkan.
Sedikit menggangu ?
Cuekin aja.
Saya tak henti memikirkan kenapa kesenian harus menjadi alat untuk mencari nafkah.
Saya juga merenung bahwa perbuatan tersebut semestinya tidak terjadi.
Jika beralasan dengan minimnya lapangan kerja, jawabannya selalu "ya", tetapi pertanyaan dan jawaban ini ialah bentuk gaya komunikaai usang yang buntu penuntasan.
Kalau bicara soal regulasi tentang kesenian dan kebudayaan, saya nggak bisa memahami karena bukan bidang legislasi yang saya kuasai.
Lalu kira kira apa ?
Entahlah.
Saya mencoba menjadi seorang pelaku kesenian jalanan itu. Bila lapangan pekerjaan tak mampu menampung saya untuk bekerja, kebutuhan dan biaya hidup selalu meningkat, dan tingkat pendidikan saya yang sekedarnya maka saya akan lakukan ngamen barongsai dan ondel ondel untuk mendapat penghasilan demi menyambung hidup.
Saya sadar bahwa perbuatan tersebut keliru karena merendahkan martabat kesenian warisan budaya bangsa.
Saya keliru memamerkan keahlian demi mendapatkan recehan dan belas kasih orang.
Maka saya akan tinggalkan perbuatan itu dan beralih kerja apapun demi harga diri dan rasa hormat terhadap warisan seni budaya.
Kenapa keduanya tetap ada sampai saat ini ?
Ini sikap sejati saya sebagai masyarakat.
Illiterasi dan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap seni menjadi awal kelangsungan adanya kedua seni jalanan tersebut hingga kini.
Rasa belas kasih yang diwujudkan dengan memberi uang receh kepada mereka bukanlah suatu perbuatan yang tepat.
Itu menurut saya.
Dengan memberikan uang receh setiap kali mereka memamerkan seni barongsai dan ondel ondel tersebut justru menjadi sumber masalah baru yaitu mereka merasa tidak bersalah dengan menjual kreativitas secara murah.
Kebaikan budi masyarakat disalah tafsirkan sebagai bentuk toleransi sehingga mereka tetap terus bersikap demikian. Hal ini semakin menjadikan mereka terkungkung dalam kenistaan meminta-minta.
Mengharapkan mereka berhenti menistakan seni sebagai alat ngamen bukan hal mudah dilakukan.
Tindakan persuasif kepada mereka untuk berhenti ngamen menggunakan barongsai dan ondel ondel kecil kemungkinan akan didengar.
Sikap tegas dan edukatif diperlukan sebagai sebuah solusi.
Boikot memberi uang receh kepada mereka. Itu beeguna agar mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan beralih mencari pekerjaan yang layak meski kecil pendapatan namun masih memiliki harga diri.
(***)
Comments
Post a Comment