Skip to main content

Politik Dinasti



Beberapa hari lalu hingga sekarang ada hal menarik diperbincangkan. Temanya aktual yakni politik dinasti. 

Politik dinasti ialah usaha untuk melanggengkan kekuasaan dengan mengajak sejumlah individu yang memiliki hubungan kekeluargaan. 

Politik dinasti berkembang di sejumlah negara yang menganut sistem kerajaan (monarki). Tetapi, tidak menutup peluang bahwa politik dinasti berkembang di sejumlah negara yang menganut sistem demokrasi, bahkan di Amerika Serikat sebagai asal sistem demokrasi. Misal, George Walker Bush merupakan putra dari mantan Presiden George Bush. 

Hasil akhir politik dinasti ialah sejumlah pemimpin dalam satu hubungan kekerabatan. Keadaan demikian  berisiko menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Kita pahami bahwa sistem kerajaan lebih dahulu lahir daripada sistem demokrasi. Politik dinasti lumrah terjadi di negara kerajaan, maka adanya politik dinasti di negara demokrasi merupakan suatu kemunduran. Kemunduran karena ia mengadopsi  sistem yang berlawanan. Politik dinasti berpotensi meruntuhkan sendi kehidupan demokrasi dalam suatu negara.

Sistem demokrasi  menjunjung tinggi hukum tetapi tidak memuat satu pasal pun yang melarang  politik dinasti. Sehingga secara legal formal, tidak ada yang dilanggar dalam memunculkan politik dinasti. Hal ini kerap dijadikan dalil pembenar bagi sebagian golongan untuk melestarikan  politik dinasti. Mereka berlari dari  etika dan bersembunyi di balik hukum.

Politik dinasti berasaskan hubungan kekerabatan sangat sulit melahirkan pemimpin berkarakter. Saya menolak secara tegas hal tersebut. Pemimpin hasil politik dinasti sejatinya kepanjangan tangan dari pemimpin sebelumnya. Hal ini bisa kita cermati di Arab Saudi dan Korea Utara. Pemimpin di dua negara tersebut merupakan bentuk nyata yang tidak terbantahkan dari produk politik dinasti.

Di Indonesia, politik dinasti tidak mungkin ada sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi dan Korea Utara. Politik dinasti di Indonesia kerap muncul dalam proses penentuan calon pemimpin.
Ini mengemuka di masyarakat saat sekarang.

Seorang putra pemimpin incumbent  membulatkan tekad untuk maju sebagai calon kepala daerah. Kebetulan, partai pengusungnya ialah partai tempat bapaknya bernaung. Sadly, putra pemimpin itu sama sekali tidak memiliki background politik yang memadai.  Di sinilah menunjukkan bahwa politik dinasti melanggar asas etika. 
Bagaimana mungkin jabatan politik sebagai kepala daerah tidak dilandasi pemahaman politik ? Bagaimana mungkin kita  menjadi tentara yang hebat bila menembak pun tidak bisa ?

Background politik tetap harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah. Bagi saya, itu suatu hal yang tidak bisa dikompromikan

Tudingan politik dinasti bisa tereliminasi bila yang bersangkutan setidaknya tercatat sebagai kader partai politik. Namun, hal itu tidak dimilikinya. Tidak sepenuhnya keliru bila masyarakat menduga telah ada praktik politik dinasti  terkait  pencalonan dirinya sebagai kepala daerah.

Kaderisasi dalam sebuah partai politik merupakan salah satu cara terbaik dalam menjaring calon pemimpin. Dalam kaderisasi  partai politik termuat nilai internalisasi ideologi, loyalitas dan kompetisi secara fair. Setiap kader partai politik yang dicalonkan oleh partai politik, maka saya akui dialah seorang kader yang berkualitas. Dan, saya tidak bisa mengatakan ia buah dari praktik politik dinasti meskipun ia sangat dekat kekerabatannya dengan penguasa. Shortly, Kapabilitas politik individu meruntuhkan tudingan produk praktik politik dinasti yang dialamatkan kepadanya.

Calon kepala daerah di lingkaran penguasa hendaknya mengukur diri. 

(***)











Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah