Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN.
Menyandang status ASN tidak selalu menjadi kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019.
Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption) dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu.
PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini keberadaan KPK merupakan bagian dari pemerintah sebagaimana kepolisian dan kejaksaan. Keluarnya peraturan pemerintah tersebut menjadi salah satu sebab hilangnya independensi KPK dalam menegakkan hukum. Pada periode mendatang, sangat mungkin kinerja KPK tidak berbeda jauh dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi.
Sebagai bagian dari eksekutif, KPK tidak lagi bertindak mendahului kehendak pemerintah. Situasi demikian menyebabkan KPK mudah didekte oleh kekuasaan yang menaunginya. Bila hal itu terjadi, tentu sebuah kondisi yang tidak pernah terjadi semenjak berdirinya KPK pada 2002.
Berkurangnya independensi pegawai KPK karena alih status sebagai ASN sangat bertentangan dengan semangat awal pembentukan KPK sebagai sebuah lembaga independen. Dengan independensi yang dimiliki, KPK mampu memperlihatkan kinerja pemberantasan korupsi yang jauh lebih baik daripada kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, Perancis terinspirasi membentuk lembaga serupa KPK yaitu Agense Francaise Anticorruption (AFA).
Meluruhnya independensi KPK menjadi pintu masuk adanya intervensi dalam proses pemberantasan korupsi. Intervensi tidak saja muncul dari lingkup pemerintah, namun juga berasal dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan pemerintah. Bahkan, sangat dimungkinkan KPK menjadi alat kekuasaan mengingat bahwa kedudukannya kini berada di bawah pemerintah.
Alih status pegawai KPK menjadi ASN berakibat hilangnya salah satu kewenangan KPK yaitu recruitment pegawai.
Sebelum adanya alih status pegawai KPK menjadi ASN, KPK memiliki kewenangan penuh dalam merekrut pegawai. Hal itu sesuai dengan prinsip KPK sebagai salah satu lembaga independen yaitu Authority Over Human Resource.
Prinsip di atas secara lengkap berbunyi : "Lembaga anti korupsi harus punya kewenangan untuk merekrut dan memberhentikan pegawainya sendiri, dengan mengacu pada prosedur internal yang jelas dan transparan."
Kewenangan recruitment ASN di KPK kini dilimpahkan kepada
Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dengan demikian, KPK tidak bisa menemukan individu dengan kompetensi dan integritas tinggi dalam memberantas korupsi.
Next time, kinerja KPK yang luar biasa hebat dalam memberantas korupsi hanya tinggal cerita.
Saya sangat tidak berharap hal itu menjadi kenyataan !!!
(***)
Comments
Post a Comment