Skip to main content

Bintang untuk "Duo F"



Banyak yang heran ketika ada informasi mengenai Presiden Joko Widodo yang hendak menganugerahi Bintang Mahaputera Nararya kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Kedua tokoh itu terkenal memiliki "lidah pedas" terhadap pemerintahan Joko Widodo sejak awal terpilih sebagai Presiden hingga sekarang.

Beberapa surat kabar menamai kedua orang tersebut dengan "Duo F". "Lidah pedas" kedua tokoh tersebut berisikan sejumlah kritik terhadap Presiden Joko Widodo. Hampir setiap saat "Duo F" mengkritik secara tajam berbagai kebijakan presiden. 

Akibat seringnya mengkritik presiden,  keduanya dinamai tukang nyinyir oleh sebagian warganet yang berbeda sikap politik dengan keduanya. 
Bagi saya, tidak masalah mereka digelari tukang nyinyir selagi kritik yang diarahkan ke Presiden Joko Widodo bersifat objektif.

Setelah ramai tersiar rencana penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada "Duo F", muncul sikap nyinyir yang tidak kalah pedas daripada kritik mereka berdua ke Presiden Joko Widodo. Bentuk nyinyir kepada "Duo F" berupa sikap mencemooh bahkan meragukan apa kontribusi keduanya sehingga laik dianugerahi Bintang Mahaputera Nararya oleh Presiden Joko Widodo.

"Akhirnya kita paham, bahwa untuk mendapatkan bintang Mahaputera gak perlu prestasi, gak perlu tauladan, gak perlu sesuatu yang luar biasa yang beguna dan akan dikenang.. Cukup nyinyir di media setiap saat. Gampang ya ternyata.."

"Udah lebih dari 5 jam gua mikir, apa jasanya Fahri ma Fadli ya sampai harus dikasih penghargaan segala ? Kayaknya harus tambah 6 jam lagi. Sapa tau dapat.."

Dua kutipan di atas membuktikan adanya nyinyir tajam kepada mereka berdua.

Seolah menanggapi dua kutipan nyinyir di atas, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (menkopolhukam), Mahfud MD menjelaskan bahwa penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

"Bisa dijelaskan bhw pemberian bintang Mahaputra kpd Fadli Zon dan Fahri Hamzah adl sesuai dgn peraturan yang berlaku. Mantan ketua/wakil ketua lembaga negara, mantan menteri dan yang setingkat mendapat bintang jasa spt itu jika selesai tugas dlm satu periode jabatan," tulis Mahfud MD dalam akun Twitternya.

Pada kenyataannya, tidak selalu mantan ketua/wakil ketua lembaga negara mendapat Bintang Mahaputera Nararya ketika selesai masa jabatan. 
Marzuki Ali, Priyo Budi Santoso, Pramono Anung  merupakan beberapa  mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun ketiganya sampai saat ini tidak mendapat Bintang Mahaputera Nararya tetapi Bintang Mahaputera Adhipradana. Sebaliknya, beberapa tokoh bukan pemimpin lembaga tinggi negara justru mendapat anugerah Bintang Mahaputera Nararya antara lain : Dato Sri Taher, Tengku Nasaruddin Said Effendy, dan Sofjan Wanandi.

Saya selalu berpikir bahwa jabatan presiden ialah jabatan politik sehingga segala keputusan yang diambil presiden selalu memiliki aspek politik. Penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon tampaknya memiliki sisi  politik  yang lebih mendominasi daripada sekedar penghargaan sebagai mantan wakil ketua DPR.

Jika benar bahwa penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon merupakan penghargaan karena tugasnya dahulu sebagai wakil ketua DPR, maka tidak ada yang istimewa terhadap hal itu. Terlebih lagi, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merilis hasil laporan bahwa DPR periode 2014-2019 saat keduanya duduk sebagai Wakil Ketua DPR merupakan DPR dengan kinerja terburuk di era reformasi. 

(***)







Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah