Saya sependapat dengan pernyataan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, bahwa buzzer dan influencer diberdayakan untuk mempromosikan sejumlah kebijakan pemerintah di media sosial.
Bagi saya, buzzer lebih menarik ditulis karena keberadaannya berdampak negatif bagi warganet (netizen).
Bila tujuan buzzer untuk menggemakan berbagai kebijakan pemerintah, maka buzzer seharusnya aktif mengunggah beragam narasi positif di media sosial (medsos). Sayangnya, buzzer mengalami mutasi genetik pada tujuannya.
Saat ini, keberadaan buzzer tidak perlu ada. Masyarakat telah menemukan banyak cara mengetahui beragam kebijakan pemerintah melalui saluran informasi konvensional maupun digital. Demikian pula, setiap biro hubungan masyarakat (humas) di kementerian/lembaga/badan memiliki kewajiban menyampaikan informasi mengenai beragam kebijakan terkait institusinya.
Alih alih memberi kesan positif terhadap kebijakan pemerintah, populasi buzzer di media sosial seperti kerikil tajam demokrasi.
Tiga kata terakhir di atas merupakan karakter buzzer di media sosial. Mereka akan menyerang secara membabi buta kepada sejumlah pihak (netizen) yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Hal tersebut dilakukan karena buzzer tidak mampu memberikan kontra narasi secara rasional dan komprehensif tentang kritik netizen terhadap kebijakan pemerintah.
Pada tahap ini, saya jadi berpikir bahwa pola recruitment terhadap buzzer dilakukan secara serampangan.
Mungkin, sekali lagi mungkin. Syarat utama menjadi buzzer ialah aktif secara intens di media sosial meskipun tanpa dasar pengetahuan memadai untuk patut disebut penggema kebijakan pemerintah.
Netizen kritis merupakan musuh buzzer yang harus dihabisi eksistensinya di media sosial. Cara menghabisi netizen kritis beragam dan sangat jauh dari kesan manusia terdidik : makian, sumpah serapah, sebutan alat kelamin dan segala hal yang tujuan akhirnya ialah pembunuhan karakter terhadap netizen kritis tersebut.
Sebaliknya, buzzer akan merespon positif terhadap netizen yang sependapat dengan kebijakan pemerintah. Tanggapan menyerang buzzer ke netizen kritis akan diikuti oleh netizen yang mendukung buzzer tersebut. Sehingga, terciptalah adu argumen nirfaedah dari mereka yang terlibat. Mencermati keadaan tersebut, keberadaan buzzer telah menjelma menjadi provokator keresahan di media sosial.
Keadaan di atas membuktikan bahwa kehadiran buzzer tidak diperlukan karena buzzer telah menciptakan keterbelahan dan friksi tajam di media sosial. Sangat jauh dari tujuan awal sebagai penggema kebijakan pemerintah.
Media sosial sebagai wadah bertemunya beragam gagasan telah berubah menjadi medan perang bagi prajurit bayaran : buzzer.
Buzzer semakin liar di media sosial ketika menjadikan setiap pemuka agama (ulama) Islam yang tidak berada di barisan pemerintahan sebagai sasaran nyinyir. Beragam tindakan dilakukan untuk menemukan kesalahan pada diri ulama dan umat Islam. Bahkan, santri anak anak tak luput dari tuduhan sebagai calon teroris !!!!
Apakah ini tugas buzzer ???
Sampai tahap ini, saya jadi memiliki keyakinan bahwa buzzer sengaja disewa untuk menciptakan disharmoni di kehidupan masyarakat, bukan untuk menggemakan kebijakan positif.
Tetapi, saya masih belum bisa menduga untuk apa disharmoni itu dilakukan.
Namun, saya berkeyakinan bahwa buzzer tinggal menghitung mundur untuk sirna. Keberadaan buzzer sejatinya mengancam struktur demokrasi dan persatuan bangsa.
(***)
Comments
Post a Comment