Seorang raja terusir dari negerinya bukan lagi sebuah mitos. Itu nyata. Raja Juan Carlos dari Spanyol menjadi pembicaraan sejumlah media di Eropa saat ini. Pria lanjut usia berusia 82 tahun tersebut harus meninggalkan Spanyol, negeri yang telah dia besarkan.
Dia merupakan aktor utama suksesi transformasi diktatoris ke demokratis di Spanyol. Selama berkuasa dari 1975-2014 banyak jasa dia berikan bagi demokrasi. Pada awal berkuasa, banyak partai politik terbentuk dan pemilihan umum pertama terjadi sepanjang sejarah Spanyol.
Keadaan berkehendak lain, di akhir kekuasaannya dia harus menikmati hal pahit. Dia harus menikmati sisa hidup jauh dari negeri yang telah dia bangun. Perkara korupsi memaksa dirinya meninggalkan Spanyol.
Penggemar klub sepakbola Real Madrid itu harus menghadapi sangkaan menerima komisi (gratifikasi) dari konsorsium pelaksana project kereta api cepat di Arab Saudi. Dana sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 Triliun diduga dia terima dari mendiang Raja Abdullah pada tahun 2008.
Korupsi merupakan perbuatan tercela, siapapun sependapat dengan hal tersebut. Sifat tercela pada korupsi tidak akan hilang walaupun pelakunya seorang raja.
Saya berpendapat bahwa perbuatan korupsi Raja Juan Carlos ialah perbuatan tercela. Saya tekankan bahwa perbuatan Raja Juan Carlos tercela, bukan pada pribadi raja tersebut.
Meski memiliki perbuatan tercela berupa korupsi, Raja Juan Carlos mewariskan sikap berupa keberaniannya mengasingkan diri keluar dari Spanyol untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Satu pelajaran berharga diperoleh Raja Juan Carlos yaitu menjunjung tinggi etika.
Kesadaran diri Raja Juan Carlos meninggalkan kerajaan merupakan sikap yang patut dihormati.
Sangat mungkin sikapnya itu dilakukan sebagai cara menghukum diri terhadap kekeliruan yang telah dia lakukan. Bila ini yang terjadi, sungguh luar biasa jiwa besar Raja Juan Carlos.
Kejahatan korupsi yang dia lakukan harus diakui sangat tercela, namun dengan keberanian sikapnya besar kemungkinan rakyat mudah memaafkannya.
Kepergiannya dari Spanyol bukan untuk menghindar dari jeratan hukum sangkaan korupsi kepadanya. Namun, saya menduga kepergiannya ialah demi menjaga kehormatan Kerajaan Spanyol agar tidak terseret lebih jauh dalam permasalahan hukum.
Bila kita bandingkan hal tersebut di Indonesia, sangat jarang terjadi seseorang mantan penguasa terjerat hukum namun bisa "tau diri" dan mengakui kekeliruannya.
Sikap mendahulukan etika sejatinya bertujuan untuk tegaknya proses hukum itu sendiri.
(***)
Comments
Post a Comment