Skip to main content

Preman Pasar Menegakkan Protokol Kesehatan ?



Penanganan pandemi Corona di Indonesia tampaknya menjadi arena improvisasi sejumlah  pejabat. Saya sengaja menggunakan diksi improvisasi karena sejumlah pejabat penting di negara ini tetiba secara aktif menangani Corona di luar kompetensi dan tugas pokoknya.

Kamis, 10 September 2020, ada gagasan nyeleneh datang dari Wakil Ketua Pelaksana II Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono. Ini menjadi satu bukti penanganan Corona tidak dilakukan oleh orang yang tepat. 

Gatot Eddy Pramono yang merangkap Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (wakapolri) tersebut hendak melibatkan preman pasar dalam menjaga dan mengawasi warga dalam menerapkan protokol kesehatan. Sehingga, penyebaran Corona dari klaster pasar dapat dicegah.

Bila menilik tujuannya, kita yakin tujuannya baik. Semestinya tujuan baik harus disempurnakan dengan cara tepat. 

Apakah dengan melibatkan preman untuk mencegah munculnya Corona klaster pasar merupakan langkah tepat ?

Menegakkan disiplin protokol kesehatan dipasar sangat tidak tepat dilakukan oleh preman. Point utama ketidaksetujuan saya ialah cara komunikasi kelompok preman.

Secara umum mereka lebih sering berkomunikasi secara intimidatif. Sehingga sangat mungkin keterlibatan preman dalam penanganan Corona justru menjadi masalah baru yaitu resistensi masyarakat terhadap mereka. Padahal, cara terbaik dalam menegakkan protokol kesehatan ialah pola komunikasi persuasif tanpa meninggalkan punishment.

Sampai sekarang, keberadaan preman sangat meresahkan bagi mereka yang terbiasa berinteraksi di pasar. Alih alih berhasil menegakkan protokol kesehatan, mereka justru merasa mendapat legitimasi terhadap tindakan represif yang mereka lakukan dengan dalih menegakkan protokol kesehatan. 

Cara lain sebagai ganti pelibatan preman dalam mencegah klaster Corona ialah pelibatan kelompok pedagang pasar. 

Terdapat dua alasan rasional pelibatan kelompok pedagang dalam mencegah klaster pasar.

Satu. Pola komunikasi persuasif. Bila tujuannya ialah agar masyarakat disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, maka diperlukan pola komunikasi persuasif dalam berinteraksi kepada mereka, bukan pola komunikasi intimidatif.

Harus diakui bahwa kelompok pedagang lebih bisa berkomunikasi secara persuasif terhadap masyarakat dibandingkan dengan kelompok preman. 

Kedua. Interaksi menjadi kunci efektivitas komunikasi persuasif dari pedagang kepada konsumen.  Intensitas interaksi antara pedagang dan konsumen lebih sering terjadi daripada interaksi preman dan konsumen. Keadaan demikian menyebabkan adanya ikatan inter-personal secara erat antara pedagang dan konsumen. 

Sehingga, peran kelompok pedagang dalam menegakkan protokol kesehatan di pasar lebih mudah diterima oleh sesama pedagang, konsumen serta masyarakat pasar.

(***)



Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah