Skip to main content

Tunda Pilkada 2020 demi Keselamatan Rakyat



Belum tertulis dalam sejarah Indonesia bahwa proses pemilihan pemimpin berlangsung bersamaan dengan pandemi penyakit. Tahun 2020 menjadi awal penulisan sejarah bahwa proses pemilihan kepala daerah (pilkada) berlangsung ketika wabah penyakit belum jelas menunjukkan titik akhir. 

Desember 2020 menjadi bulan puncak pelaksanaan pilkada serentak di Indonesia. Sebanyak 270 daerah meliputi tingkat provinsi, kabupaten, dan kotamadya akan memilih pemimpinnya untuk lima tahun ke depan. Jumlah tersebut terdiri dari : 9 dari 34 provinsi, 224 dari 415 kabupaten, dan 37 dari 93 kotamadya masing masing akan memilih gubernur, bupati, dan walikota.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 berisikan tentang pelaksanaan tahapan pilkada. Secara umum, KPU membagi tiga tahapan pilkada serentak tahup  2020.

Tahap pertama, 4 - 6 September 2020. Merupakan tahap pendaftaran calon kepala daerah
Tahap kedua, 26 September - 5 Desember 2020. Merupakan tahap pelaksanaan kampanye kepala daerah.
Tahap ketiga, 9 Desember 2020. Merupakan tahap pemungutan suara pilihan kepala daerah.

Tahap pertama sudah terlewati. Selanjutnya tahap kedua dan ketiga merupakan  ujian bagi pemerintah.

Saya menggunakan diksi ujian karena pemerintah harus bisa mengambil prioritas kebijakan pelaksanaan pilkada di tengah masa pandemi Corona.

Hanya ada dua keputusan pemerintah terkait pelaksanaan pilkada tahun 2020 yaitu : melanjutkan atau menunda pilkada.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (menkopolhukam) Mahfud MD tegas mengambil opsi melanjutkan agenda pilkada sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Di sisi lain, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Derah (DPD) , dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepada pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan pilkada tahun ini. Artinya, keputusan melanjutkan atau menunda pilkada tahun 2020 belum pasti.

Sikap pemerintah didasari oleh ketidakpastian kapan pandemi Corona berakhir. Daripada berada dalam ketidakpastian, maka lebih baik melanjutkan pilkada dengan protokol kesehatan secara ketat. Tidak mungkin jabatan kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas (plt). Salah satu alasan yang saya pahami ialah seorang pelaksana tugas (plt) tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan kebijakan strategis sebagaimana kewenangan itu melekat pada kepala daerah. Saya bisa memahami alasan rasioanal tersebut. Dan, itu memang rasional.

Tetapi, saya sangat berbeda pendapat dengan sikap pemerintah untuk tetap melanjutkan pilkada serentak 2020 sesuai agenda yang telah ditetapkan.

Kita berada dalam rumah ketika hujan turun. Itu cara terbaik selamat dari bahaya.

Pandemi Corona di Indonesia belum berakhir. Banyak kasus baru muncul di sejumlah daerah. Sementara itu, sarana dan tenaga kesehatan terbatas, dan vaksin Corona belum berhasil ditemukan. Maka, cara terbaik ialah memutus rantai penyebaran Corona. Salah satu bentuknya ialah menghindari kerumunan massa. Semakin besar kerumunan massa, semakin besar kemungkinan terjadi penyebaran virus Corona. So simple like that !

Menunda pilkada pada tahap kampanye dan pemungutan suara menjadi salah satu cara menghentikan penyebaran Corona. Kedua tahapan tersebut tidak mungkin tanpa melibatkan massa. Pengerahan massa pasti sangat berperan dalam penyebaran Corona. Protokol kesehatan tidak mungkin tidak  dilanggar dalam event tersebut. Jika ini terjadi, upaya bersama selama lebih dari enam bulan menangani Corona berubah menjadi kesia-siaan.

Selain berpotensi menimbulkan klaster Corona secara masif, pilkada serentak saat ini justru semakin membuat partisipasi masyarakat semakin berkurang.

Masyarakat semakin cerdas. Saat kondisi normal, muncul trend penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilihan pemimpin. Apalagi saat ini, trend penurunan akan semakin tajam. Masyarakat pasti lebih memilih  selamat dari wabah Corona daripada harus mengikuti kampanye dan pemungutan suara untuk memilih pemimpin. 

Silakan pemerintah  melanjutkan tahapan pilkada dan rakyat tidak ada larangan memilih yang terbaik untuk keselamatan dirinya. 

(***)














Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah