Rasanya terlalu berat untuk membenarkan keputusan koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia---untuk Luhut, saya lebih nyaman memakai kata ganti dia daripada beliau---memutuskan tidak memasukkan angka kematian sebagai indikator harian dalam penanganan pandemi Covid.
Keputusan tersebut hampir pasti melukai perasaan keluarga korban meninggal akibat Covid. Seolah kematian anggota keluarga mereka tidak berarti di mata pemerintah.
Selain merepresentasikan sikap nir-empati kepada keluarga korban meninggal, keputusan Luhut menghilangkan angka kematian juga mengacaukan penanganan pandemi Covid itu sendiri.
Langkah Luhut tersebut dilatarbelakangi banyak kesalahan dalam memasukkan (entry) angka kematian harian. Jika ini sebagai akar masalahnya, maka pembenahan sistem entry data kematian menjadi solusinya. Menghilangkan data kematian justru menjadi bentuk "lari" dari kesalahan.
Secara terbuka, saya sangat ragu bila kesalahan entry angka kematian menjadi alasan utama Luhut menghilangkannya sebagai satu indikator penanganan Covid.
Angka kematian menjadi satu diantara empat indikator utama penanganan pandemi Covid.
Keempat indikator tersebut ialah angka kematian, angka kesembuhan, trend kasus harian dan hospitality.
Angka kematian menjadi fokus utama penanganan pandemi. Hal ini disebabkan karena angka kematian merupakan tingkat fatalitas (fatality rate) atau tingkat ke-berbahaya-an yang dapat mengancam kelangsungan hidup. Selain itu, angka kematian merepresentasikan kemampuan sinergi dari ketiga indikator lainnya.
Penanganan pandemi Covid bisa dikatakan berhasil bila terlihat konsistensi berupa : penurunan angka kematian; peningkatan angka kesembuhan; penuruanan kasus harian dan penurunan jumlah pasien Covid yang dirawat di rumah sakit.
Saya berada pada satu kesimpulan bahwa penghilangan angka kematian merupakan pengakuan terbuka bahwa Luhut gagal menangani pandemi Covid di Indonesia.
Dua data statistik tiga hari lalu menjadi landasan keyakinan saya tersebut.
Kompas (10/8) mencatat bahwa angka kematian Covid di Indonesia saat ini sebesar 2,92 %. Persentase tersebut jauh melampaui angka kematian standar World Health Organization (WHO) sebesar 2,12%.
Sementara itu, laman covid19.go.id sampai dengan tanggal 8 Agustus 2021 mencatat bahwa angka kematian usia produktif (18-64 tahun) mencapai 52,3% dan angka kematian usia lanjut (lansia) sebesar 46,7%.
Ini merupakan anomali. Secara teoritis, angka kematian lansia lazimnya lebih besar daripada angka kematian pada usia produktif. Hal itu disebabkan karena kelompok lansia mengalami pelemahan sistem imun sehingga daya tahan tubuh melemah dan riwayat penyakit kronis.
Luhut.... Luhut....
"Kok bisa Lo ilangin angka kematian sih ?!"
(***)
Comments
Post a Comment