Jakarta pagi ini terasa sangat dingin. Tanggal 17 Juni 2020 sekitar pukul 5:40 BBWI.
Menuangkan air ke dalam ketel lalu menyalakan kompor menjadi langkah awal mengusir rasa dingin yang menyergap. Sekitar lima menit saya panaskan air dalam ketel. Mendidih air. Saya yakin titik didihnya 100° C meski sampai kini saya tak pernah mengukurnya langsung. Itu pelajaran sekolah yang dulu kita dapat.
Kuambil cangkir kecil lalu kutaruh gula sebanyak tiga sendok teh dan kopi bubuk sebanyak dua sendok teh. Rasio 3:2 kerap saya gunakan dalam membuat secangkir kopi hangat yang nikmat.
Sambil menunggu kopi siap disruput, saya menulis blog hampa konten ini. Asal tulis dan mengalir saja.
Beberapa alasan logis-rasional dapat ditemukan sebagai alasan mengapa banyak orang menyukai kopi.
Satu. Bagi sebagian orang, minum kopi bisa menghasilkan ide ide kreatif.
Ini kerap terucap bagi mereka yang pekerjaannya terkait dalam produktivitas gagasan saat mereka terjebak dalam kondisi kelelahan menghasilkan gagasan dan mengalami kebuntuan berpikir solutif.
Kelompok ini secara ilmiah meyakini bahwa zat caffein yang terdapat di dalam kopi berfungsi merangsang sel saraf (neuron) untuk lebih aktif bekerja. Kita ketahui bahwa aktivitas berpikir dan berkreasi tempat berasal ialah dari sel saraf yang berada di organ otak.
Sangat rasional mereka berdalih dengan hal tersebut. Namun saya belum pernah menemukan suatu penelitian faktual yang membenarkan penilaian hal itu.
Dua. Sebagian yang lain menikmati kopi untuk mengusir kantuk yang datang.
Selain berfungsi mengaktivasi sel saraf (neuron), caffein berperan dalam mengusir kantuk dengan cara memicu jantung untuk lebih banyak berdenyut. Sangat masuk akal dalih ini karena lazimnya kantuk ditandai dengan menurunnya denyut jantung. Penurunan denyut jantung terus terjadi hingga seseorang itu tertidur.
Lazimnya "mazhab" ini dianut oleh mereka yang bekerja di luar ruangan. Kita maklumi hal ini benar adanya bahwa terlalu berisiko melakukan pekerjaan di luar ruangan bila hal itu dilakukan dalam kondisi mengantuk. Bukan mimpi yang didapat namun celaka yang diperoleh.
Minum kopi menjadi pilihan rasional untuk diterapkan.
Tiga. Di sisi lain sebagian penikmat kopi menikmatinya untuk meresapi filosofi kehidupan. Mereka mendapat pelajaran bahwa hidup ini terasa nikmat meski hidup ini pahit dan hitam pekat selayaknya rasa dan warna kopi pada mulanya.
Saya memang tidak paham filsafat namun saya pahami keyakinan seperti ini sebagai sebuah analogi yang pas.
Absah beranggapan demikian karena memang itu realita yang tidak bisa dinilai sebagai sebuah hal benar atau salah.
Saya hormati semua pendapat di atas, namun saya minum kopi hitam sekedar ingin menikmatinya saat menghabiskan waktu sambil bercengkerama dan berinteraksi selayaknya tuan rumah menjamu tamunya.
(***)
Comments
Post a Comment