Skip to main content

Menyikapi Insiden Pembakaran Baliho HRS




Insiden pembakaran baliho bergambar Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS), oleh sejumlah massa demonstran semestinya tidak perlu terjadi. Memalukan. Alasan apapun tidak bisa menjadi pembenaran adanya tindakan tersebut. Sekarang, muncul aksi balasan dari sejumlah massa yang tidak terima atas insiden tersebut. Potensi konflik horizontal muncul, namun saya tidak berharap hal itu nyata terjadi.

Menyikapi kejadian di atas, selayaknya masyarakat tidak perlu bersikap reaktif berlebihan.

Saya bisa memahami kemarahan umat Islam atas insiden pembakaran baliho tersebut. Namun, kemarahan yang timbul tetap harus terkendali sehingga tidak menimbulkan keresahan yang lebih besar.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara  Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Setiap aparat yang bertugas menangani aksi unjuk rasa, saya menilai mereka memahami peraturan di atas.

Dalam Perkapolri tersebut termuat unsur larangan bersikap represif dan kewajiban bersikap preventif terhadap peserta aksi demonstrasi.

Sikap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk tidak represif terhadap peserta aksi demonstrasi  telah  terpenuhi. Massa demonstran merasa aman dan hak menyampaikan pendapat di muka umum telah terpenuhi. Saya apresiasi tugas Polri dalam hal ini. Luar biasa.

Sikap preventif Polri dalam menangani unjuk rasa tetap harus  selalu ditingkatkan. Mencegah demonstran membakar ban menjadi satu contoh nyata Polri bersikap preventif terhadap  tindakan yang berpotensi menimbulkan kekacauan. 
Saya sangat sepakat dengan hal itu. Namun, sikap preventif Polri tidak begitu terlihat pada aksi unjuk rasa beberapa hari lalu. Alhasil, terjadilah insiden pembakaran baliho. Meski baliho gagal terbakar, namun tidak mengurangi penilaian bahwa Polri kurang bisa bersikap preventif terhadap hal tersebut. Saya kritik Polri bila beralasan tidak bisa mengendalikan massa. Jumlah peserta aksi unjuk rasa relatif sedikit dan tidak mencapai ribuan sehingga tidak ada alasan tidak bisa mengendalikan peserta demonstrasi.

Harus diakui bahwa HRS ialah salah satu icon ulama umat Islam saat ini. Kemarahan umat Islam pun bermunculan atas tindakan tersebut. Semua penganut agama akan marah bila pemuka agama mereka dihinakan sebagaimana yang terjadi pada HRS. Saya sangat yakin akan hal tersebut.

Motif dan "otak"di balik aksi pembakaran baliho harus ditemukan oleh Polri selaku penegak hukum. Menangkap inisator  pembakaran baliho menjadi pintu masuk untuk mengungkap dua hal itu.

Kemarahan umat Islam harus berakhir tatkala Polri melakukan upaya penegakan hukum terhadap konseptor dan pelaku utama  pembakaran baliho HRS.

Umat Islam mempercayakan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk menuntaskan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila hukum tidak ditegakkan terhadap peristiwa memalukan tersebut.

Allahu Musta'an.

(***)









 

Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah