Skip to main content

Mumet




Sabtu pagi ini langit tampak cerah. Sungguh sayang, kecerahan itu tidak bisa saya nikmati sepenuhnya. Satu hal sebagai penyebabnya yaitu : 'mumet'.

'Mumet' berasal dari boso Jowo yang berarti 'pusing' dalam Bahasa Indonesia.

Mumet yang saya alami terjadi bukan karena terhambatnya aliran darah yang membawa oksigen ke otak. Bukan itu. Mumet karena salah satu aktivitas saya di media sosial (medsos) yang bernama Twitter.

Beberapa waktu sebelumnya, saya mengetengahkan berbagai contoh kesalahpahaman di antara pemilik akun Twitter. Masalah tweet berkualitas dan following-follower-unfollow. Saya anggap itu masalah usang di Twitter

Kali ini yang membuat mumet ialah narasi tweet. Beragam bentuk narasi tweet dapat saya maklumi mengingat setiap pemilik akun Twitter memiliki latar belakang yang berlainan. Latar belakang pendidikan, keyakinan, gaya komunikasi, sudut pandang dalam mengahadapi masalah dan lain sebagainya. Berbagai hal tersebut menimbulkan variatifnya narasi tweet yang dihasilkan. Tidak menjadi persoalan bagi saya bila membaca narasi tweet yang bersifat netral dan terjaga objektivitasnya.

Tweet bersifat konfrontatif, merendahkan martabat dan tendensius mampu melunturkan objektivitas yang semula ada. Berbagai hal tersebut mengakibatkan rasa mumet muncul di kepala saya.

Tweet Konfrontatif. Tweet genre ini sejatinya menjadi sebab penyalahgunaan Twitter sebagai media sosial. 

Salah satu tujuan media sosial ialah sebagai wadah saling mengenal dan membangun persahabatan. Ketika ada berbagai hal  bertentangan dengan satu tujuan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa hal itu salah diletakkan pada tempatnya. Bentuk kesalahan berupa sikap konfrontatif. 

Kemunculan sejumlah tweet bernarasi konfrontatif merupakan benih permusuhan diantara sesama pemilik akun Twitter. Lebih disayangkan lagi ialah pemilik akun tweet konfrontatif tersebut seolah-oleh memiliki pendukung setia. Para pendukung rela membela mati-matian untuk sebuah tweet konfrontatif yang miskin manfaat.

Pada akhirnya, tujuan Twitter sebagai media sosial yang konstruktif berubah menjadi ajang perkelahian, permusuhan dan kebencian. 

Tweet konfrontatif tidak akan ada kecuali dari mereka yang berjiwa kerdil dan gemar menimbulkan destruksi dalam kehidupan. 

Nggak banget deh..!!!

Secara pribadi, saya enggan membaca sampai selesai tweet konfrontatif. Sebaliknya, saya menyayangkan sejumlah follower yang sepemahaman dengan saya menanggapi cuitan konfrontatif tersebut dengan narasi yang tidak kalah pedas. Astaghfirullah.

Lengkaplah sudah aksi baku hantam dengan kata-kata. Tidak ada dampak positif yang dapat saya rasakan dengan lahirnya interaksi demikian selain rasa sempit di dada menahan luapan emosi.

Personally, saya akan langsung block terhadap sejumlah akun yang kerap menuliskan tweet konfrontatif. 

Saya tidak bisa menghentikan tweet konfrontatif namun saya bisa menjaga diri saya agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Tweet Merendahkan Martabat. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu adanya beragam tweet makian. Makian yang ditujukan kepada person bisa berwujud nama alat kelamin, binatang, bentuk fisik hingga silsilah keturunan. 

Tujuan dari makian itu sejatinya merendahkan setiap individu yang tersebut di dalamnya. Namun, bagi saya tweet berisi makian mampu menunjukkan kepada saya kualitas intelektual dari pemilik akun. 

Sangat jarang saya temukan bahwa seseorang dengan kapasitas intelektual mumpuni kerap melontarkan makian.

Saya tentu tidak memiliki kewenangan untuk melarang adanya sejumlah tweet sarat makian, namun saya gunakan hak saya untuk report ke Twitter bila saya menemukan  sejumlah tweet berisi  makian. 

Hanya itu yang saya bisa lakukan !!

Mengakhiri tweet makian ini tidak bisa dengan melakukan comment dengan tweet yang lebih vulgar. Saya rasa dengan tidak melakukan comment terhadap tweet makian menjadi solusi real yang mudah untuk dilakukan.

Tweet Tendensius. Berlebihan dalam bersikap juga terungkap dalam sejumlah tweet

Wujud nyata hal tersebut berupa pujian setinggi tujuh lapis langit terhadap sosok yang dikagumi dan hujatan sedalam tujuh lapis bumi terhadap sosok yang tidak sepemahaman. 
Anda tidak lebih buruk daripada sosok yang  Anda puja dan Anda tidak lebih baik daripada sosok yang Anda hujat.

Tweet tendensius ini hadir biasanya dilatarbelakangi oleh minimnya sikap objektif dan meningkatnya sikap reaktif terhadap sebuah issue maupun informasi yang diperoleh dari beberapa sumber pemberitaan.

Please, bagi teman teman pemilik akun Twitter, sikap tendensius yang Anda perlihatkan hanya merugikan diri Anda sendiri. 

Pengguna Twitter  lain mampu menilai seberapa baik pemahaman Anda ketika membaca tweet yang Anda tulis. 

Mereka bersedih dengan sikap Anda merendahkan diri terhadap sosok pujaan sehingga Anda tampak sebagai penjilat yang tak memiliki harga diri. 
Sebaliknya, mereka tertawa dengan sikap Anda merasa lebih hebat daripada sosok hujatan padahal sejatinya Anda tidak lebih cerdas darinya. 

Selalu miliki sikap malu sebelum menuliskan tweet. Hanya itu sebagai pengendali diri kita agar tidak berlebihan dalam memuja dan menghujat.

Istirahat sementara waktu dengan tidak melakukan tweet atau log in akun Twitter menjadi pilihan bagi saya untuk menghilangkan mumet.

 
(***)





Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah