Untuk ke sekian kali, seorang public figur harus berurusan dengan kepolisian dalam perbuatan tercela. Dia ditangkap di sebuah kamar hotel dengan seorang pria. Mereka bukan pasangan suami istri. Keduanya dalam kondisi telanjang saat polisi datang. Silakan Anda tebak kemungkinan apa yang telah atau akan terjadi. Patut diduga public figur tersebut nyambi sebagai pekerja seks komersial (PSK) atau pramunikmat.
Saya tidak berpendapat bahwa keterbatasan ekonomi menjadi penyebab utama terjadinya tindak asusila pelacuran. Sama sekali tidak berpendapat seperti itu.
Saya justru berpikir bahwa praktik pelacuran terjadi karena adanya hukum permintaan dan penawaran. Tidak jauh berbeda dengan aktivitas ekonomi yang tetap ada karena hukum permintaan dan penawaran.
Pelacuran yang ada di masyarakat memiliki kesamaan dengan transaksi jual beli pada umumnya. Objek jual beli dalam pelacuran ialah pelayanan jasa berupa kenikmatan seksual. Ada penjual, pembeli dan perantara. Pramunikmat sebagai penjual, pelanggan sebagi pembeli dan mucikari sebagai perantara.
Prostitusi di kalangan selebriti maupun awam selalu menyisakan rasa ketidakadilan di masyarakat. Setiap kali pramunikmat terciduk hampir pasti dia terbebas dari jerat hukum.
Saya memahami kemarahan akibat ketidakadilan tersebut. Namun, kepolisian tidak bisa bertindak lebih jauh tanpa ada dasar hukum berupa undang-undang.
Pertanyaan yang umum ialah kenapa pramunikmat dan pelanggannya tidak bisa terjerat hukum dan hukum hanya bisa menyentuh perantara (mucikari) saja ?
Terdapat tiga hal yang menyebabkan pramunikmat dan pelanggannya tidak bisa dipidana.
Satu. Kitab undang undang hukum pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia merupakan warisan penjajah Belanda. Dalam culture Belanda, prostitusi merupakan hal yang biasa sehingga tidak termasuk dalam perbuatan pidana yang tidak akan kita temui pasalnya dalam KUHP.
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan prostitusi yang terus terjadi sampai saat ini secara hukum bukanlah suatu tindak pidana meskipun hal ini bertentangan dengan norma norma yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Untuk menjerat pramunikmat maka harus dilakukan revisi pada KUHP dengan mencantumkan pasal yang memuat tindak prostitusi sebagai perbuatan pidana.
Ketiadaan revisi KUHP yang memuat pasal prostitusi akan membuat aparat hukum selamanya mengalami kesulit menjerat pramunikmat dan pelanggannnya.
Dua. Pasal 284 KUHP memuat perbuatan serupa prostitusi yakni perzinahan yang diancam pidana selama sembilan bulan penjara.
Perzinahan dinyatakan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak.
Namun pasal 284 KUHP merupakan delik aduan dan bukan delik umum. Artinya, pihak penegak hukum tidak bisa menjerat secara pidana salah satu diantara pelanggan maupun pramunikmat kecuali ada laporan dari pihak suami/istri yang sah sebagai pihak yang dirugikan.
Tiga. Undang undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) tidak memuat secara spesifik pasal yang bisa menjerat pidana kepada pramunikmat maupun pelanggannya.
Berbeda dengan pramunikmat dan pelanggannya yang tidak bisa terjerat pasal pidana dalam KUHP, perlakuan berbeda dialami mucikari sebagai perantara pramunikmat dan pelanggan.
Secara eksplisit KUHP memuat pasal pasal yang dapat digunakan kepolisian untuk menjerat mucikari.
Pihak berwajib biasanya menjerat mucikari dengan pasal 296 KUHP juncto pasal 506 KUHP.
Pasal 296 KUHP berbunyi :
"Barangsiapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah."
Pasal 506 KUHP berbunyi :
"Barangsiapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun."
Selain kedua pasal dalam KUHP di atas, mucikari bisa terjerat lagi dengan UU-ITE Pasal 27 ayat 1 yang menyatakan bahwa :
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Perbuatan mucikari yang melanggar pasal 27 ayat 1 UU-ITE dapat dikenakan pidana paling lama enam bulan penjara dan/atau denda Rp 1.000.000.000 seperti yang tercantum dalam Pasal 45 ayat 1 UU-ITE.
Demikian tulisan singkat ini saya buat agar dapat demahami secara utuh kenapa hanya mucikari yang dipidanakan sementara pramunikmat dan pelanggannya melenggang bebas.
(***)
Comments
Post a Comment