Skip to main content

Santai Menyikapi Guyonan



Penerimaan pesan komunikasi sangat beragam. Tidak sama. Sikap pro dan kontra merupakan bentuk  ketidaksamaan tersebut.

Beberapa hari saya menyaksikan pro dan kontra terhadap ucapan seorang tokoh agama. Saya menyebutnya 'Ustadz.'
Ucapan beliau yang menimbulkan polemik ialah memperbandingkan style pendakwah antar dua suku bangsa di Tanah Air.

Saya harus akui bahwa membicarakan suku bangsa dalam ruang terbuka merupakan hal sensitif dan sebisa mungkin dihindari. Tidak menjadi persoalan bila hal tersebut didiskusikan dalam ruang tertutup.

Sebagian masyarakat tentu sudah menyaksikan ceramah ustadz tersebut melalui media sosial, YouTube. Meski disampaikan dengan gaya bercanda, namun kesukuan bukanlah bahan guyonan terbaik. Saya mengkritik hal itu. Sejumlah pihak akan merasa disudutkan dengan guyonan tersebut. Itu hampir pasti meski tidak selalu.

Respon masyarakat berbeda. Sebagian menilai hal itu sebagai joke semata tanpa tendensi apapun, sebagian lagi mengangap hal itu  sebuah pelanggaran etika berkomunikasi agar tidak menyinggung  Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). 
Saya pahami kedua sikap di atas.

Keterbelahan sikap membuktikan secara nyata adanya pro (mendukung) dan kontra (menentang) terhadap ceramah ustadz yang memuat guyonan kesukuan tersebut.

Sejumlah tokoh iconic Jawa sampai kini tidak bersuara menanggapi guyonan tersebut. Mereka sadar hal itu sebatas candaan atau hal remeh yang tidak perlu diperbesar. Mereka bisa pula berpikiran bahwa nggak ada manfaatnya menanggapi polemik guyonan atau mereka sama sekali tidak mengetahui guyonan itu ada.

Pro
Sikap pro terhadap guyonan Ustadz datang dari sejumlah pihak yang tidak tersinggung dengan guyonan ustadz tersebut, misalnya jama'ah pengajian dan budayawan yang memiliki selera humor tinggi.

Mereka menyikapi guyonan Sang Ustadz sebagai metode ice breaking dalam pengajian agar kegiatan tabligh tidak menjemukan.

Tiada maksud merendahkan atau meninggikan suku bangsa tertentu. Mungkin begitu yang ada di benak mereka. Sekedar guyonan yang tidak masuk ke hati.

Saya bisa memahami sikap pro terhadap guyonan Sang Ustadz.

Kontra
Sebaliknya sikap kontra muncul dari kelompok yang sedari awal berbeda sikap pilihan politik. Maklum, Sang Ustadz tersebut selalu kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Moment guyonan ini dikonversi sebagai cara tepat menyerang balik Sang Ustadz. Saya melihat hal ini sebagai kewajaran karena background akademik bidang hukum dimiliki sejumlah individu di kelompok ini. Mereka berdalih dengan Pasal 156 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Namun, sebagian individu dalam kelompok kontra lebih memilih penyelesaian di luar jalur hukum. Mereka menyarankan kepada Sang Ustadz untuk meminta maaf dengan menarik kembali apa yang telah diucapkan sebagai guyonan.
Menurutnya, langkah ini realistis dan tidak menguras energi untuk memperkarakan satu hal kecil.

Saya harus hargai keseriusan sikap mereka kepada Sang Ustadz.

By the way....

Sikap pro dan kontra terhadap guyonan Sang Ustadz harus saya pahami bahwa kedua hal tersebut sebuah polemik riil di masyarakat.

Personally, saya tidak dalam posisi berada salah satu diantara keduanya. Namun, saya bisa bersikap.

Saya mencermati klip video yang beredar di YouTube, guyonan Sang Ustadz lebih bermakna sebagai pemberitahuan kepada jama'ah pengajian bahwa karakteristik sejumlah ustadz sebagai juru dakwah sangat majemuk. Berlainan satu dengan yang lain. Kebetulan saja, beliau mengambil contoh dengan mengkomparasikan style Ustadz dari dua suku bangsa yang berbeda. Itu yang pertama.

Kedua. Ketika kita menyaksikan sekelompok orang tertawa mestinya kita sikapi dengan santai terlebih dahulu, bukan dengan reaktif emosional. Di satu sisi kita diminta bersikap santai ketika dalam puncak keseriusan, namun di lain hal kita justru serius menanggapi orang lain tertawa. Inkonsistensi sikap.

Ketiga. Segala hal berbau SARA tidak seharusnya disampaikan dalam konteks guyonan. Berbagai hal selain SARA masih berlimpah jumlahnya dan bisa dikemas secara kreatif menjadi bahan guyonan

Wassalaam.

(***)

Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah