Skip to main content

Sekolah Negeri Terbuka bagi Seluruh Lapisan Masyarakat



Beberapa hari lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mangeluarkan pernyataan kontroversial bahwa sekolah negeri seharusnya hanya untuk lapisan masyarakat ekonomi rendah. Saya sedih mendengar hal tersebut. Seolah-olah strata ekonomi menjadi faktor tunggal  munculnya pernyataan tersebut.

Saya menghargai statement Mendikbud. Namun, saya tidak melihat seperti demikian. Bukan pula membantah ucapan "Mas Menteri". 

Sekolah didirikan sebagai salah wujud nyata bernegara yaitu mencerdaskan, membentuk karakter dan akhlak mulia bagi setiap anak bangsa, tanpa terkecuali. 

Dalam perkembangannya, terjadi dikotomi kepemilikan sekolah yakni : sekolah negeri yang dimiliki negara dan sekolah swasta yang dimiliki oleh masyarakat.  

Setidaknya tiga pertimbangan rasional digunakan oleh orang tua siswa untuk mendaftarkan anak mereka ke sekolah negeri. Pertimbangan itu menjadi Daya Tarik tersendiri. 

Daya Tarik sekolah negeri bukan berarti ia lebih baik daripada sekolah swasta. Bukan seperti itu menilainya. 
Daya Tarik sekolah negeri lebih dimaksudkan sebagai karakteristik khas yang membedakannya dengan sekolah swasta.

Terdapat tiga Daya Tarik sekolah negeri seperti berikut.

Biaya Pendidikan
Harus diakui bahwa sekolah negeri menerapkan biaya pendidikan yang murah. Ini terjadi karena pemerintah memberikan subsisi berupa Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP), uang gedung/bangunan, dan berbagai biaya kegiatan kegiatan belajar mengajar di sekolah. 

Singkatnya, segala beban pembiayaan operasional sekolah negeri mendapat subsisi dari pemerintah. 

Sejumlah hal tersebut memunculkan antusiasme orang tua memilih sekolah negeri bagi kelanjutan putra putrinya. 

Kondisi bertolak belakang dialami oleh sekolah swasta. Segala beban operasional sekolah tidak mendapat subsidi dari pemerintah. Sehingga, biaya pendidikan di sekolah swasta sangat mahal dibanding dengan sekolah negeri. 

Iuran SPP selangit, keharusan membayar uang gedung bagi setiap siswa baru, sumbangan wajib  pengembangan 
institusi, dan segala jenis biaya kegiatan intra atau ekstra korikuler dibebankan sepenuhnya kepada orang tua siswa demi kelangsungan operasional sekolah swasta. 

Dan, jangan dilupakan  bahwa sekolah swasta sejatinya merupakan institusi bisnis dengan pendidikan sebagai objeknya. 

Maka, bisa dipahami bahwa  adanya tujuan mendapat  keuntungan (profit oriented) menyebabkan biaya pendidikan di sekolah swasta menjadi sangat tinggi.

Saya rasa persoalan tentang nominal biaya pendidikan di sekolah negeri dan sekolah swasta sudah menjadi pemahaman setiap orang tua.

Clear.

Kebanggaan
Sulit diingkari bahwa sekolah negeri tidak memberikan kebanggaan kepada siswa dan orang tua. 

Satu penyebab timbulnya  kebanggaan tersebut ialah adanya proses seleksi penerimaan siswa baru di setiap awal tahun ajaran. 

Sejumlah persyaratan ketat harus terpenuhi bagi calon siswa agar dapat meraih satu bangku di sekolah negeri. 

Satu bangku diperebutkan oleh sekian banyak calon siswa. Ada semangat kompetisi antar calon siswa. 
Sehingga, sangat wajar ada penilaian bahwa setiap siswa baru di sekolah negeri pada hakikatnya merupakan pemenangan dalam sebuah kompetisi. 
Rasa bangga akan muncul dari diri siswa dan orang tuanya. 
Saya sangat yakin terhadap hal itu.

Semangat kompetisi ini jarang atau tidak ditemukan pada sekolah swasta. 
Keyakinan yang berkembang di masyarakat ialah setiap calon siswa baru pasti akan diterima di sekolah swasta asal bisa membayar lebih mahal untuk sejumlah biaya yang diajukan pihak sekolah. 
Hal tersebut ada benarnya, namun tidak selalu demikian adanya.

Ada sejumlah kecil sekolah swasta yang menerapkan seleksi bagi calon siswa baru. Namun, jumlah pendaftar yang relatif tidak sebanyak sekolah negeri membuat kurang begitu ketatnya persaingan. Kebanggaan diterima di sekolah swasta  tentu ada tetapi tidak sebesar kebanggan diterima di sekolah negeri. 

Pergaulan Siswa. Latar belakang ekonomi orang tua siswa yang heterogen menciptakan toleransi dan saling menghargai sesama siswa sehingga hal itu mampu menghilangkan batas  pergaulan sesama siswa di sekolah negeri. Point ini menjadi pertimbangan orang tua siswa bahwa sekolah tidak semata-mata mencari ilmu namun juga membentuk watak. 

Berbeda dengan sekolah swasta. Di sekolah swasta, tingkat ekonomi orang tua siswa hampir homogen. Bahkan, suatu penilaian lazim bahwa mereka ialah masyarakat "kelas atas" yang memiliki standard hidup jauh lebih tinggi dari standard hidup kebanyakan masyarakat. Keadaan demikian berpotensi menciptakan pergaulan exclusive di antara siswa.
Timbul persoalan bila seorang siswa sekolah swasta berasal dari orang tua dengan latar belakang ekonomi jauh di bawah rata-rata. Keadaan demikian dapat mengganggu mental anak karena ia sangat mungkin merasa minder (inferior) di hadapan teman-temannya.

Bila maksud Mendikbud hendak melakukan pemerataan pendidikan dengan mengurangi antusiame ke sekolah negeri, maka pembenahan di sekolah swasta harus terlebih dahulu dilakukan. 

Pemberian subsidi negara ke sekolah swasta menjadi langkah pertama yang mudah dilakukan. 

Dengan demikian, minat orang tua  mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah swasta bisa mengalami peningkatan. 

Sebagian besar masyarakat menjadikan biaya menjadi pertimbangan utama.

(***)

Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah