Skip to main content

Da'i Bersertifikat



Rencana Menteri Agama, Fachrul Razi, memberlakukan program da'i (penceramah) bersertifikat menuai sejumlah tanggapan. 

Penceramah bersertifikat diharapkan mampu mendakwahkan Islam rahmatan lil alaamin sehingga dapat terbangun nilai nilai toleransi. Sebagai suatu niat, hal di atas patut diapresiasi. Namun pada pelaksanaannya, saya kurang sependapat bahwa sertifikasi da'i berdampak positif menurunkan angka intoleransi. Intoleransi tidak selesai dengan selembar sertifikat da'i. Menurut saya demikian.

Intoleransi terjadi ketika ada dominasi pemeluk agama sehingga tercipta tirani mayoritas terhadap umat beragama lain. Ini sebuah fakta yang tidak bisa dihindari di Indonesia. Tetapi, saya tidak membenarkan bila dominasi mayoritas umat Islam di Indonesia membuat umat beragama lain  terintimidasi dalam kehidupan keseharian.

Kecenderungan intoleransi selalu ada di setiap negara. Hal itu terjadi karena dominasi agama tertentu. Di Indonesia, saya bisa memaklumi bahwa intoleransi kerap diarahkan kepada umat Islam. Di India, intoleransi ditujukan kepada Hindu sebagai mayoritas. Di Thailand, intoleransi terjadi dan dialamatkan kepada Buddha sebagai mayoritas.
Setiap penganut agama sebenarnya cenderung  bersikap intoleran dan curiga terhadap penganut agama lain. Itu harus diakui.

Penganut agama mayoritas akan bertindak seolah-olah sebagai pemilik kebenaran tunggal dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahaman tersebut, saya yakin tidak dimiliki oleh para da'i umat Islam. Para da'i  tentu telah memahami secara faqih tentang bagaimana harus bersikap terhadap umat beragama lain. Terlebih lagi, setiap kita  pernah diajarkan sikap toleransi dan tepo seliro kepada pemeluk agama lain sewaktu di bangku sekolah.

Menurunkan angka intoleransi dengan membangun dialog antar umat beragama bukan menjadi solusi tepat. Saya khawatir hal tersebut justru menciptakan friksi baru karena perbedaan tingkat pemahaman masyarakat dalam mencerna suatu persoalan.

Solusi yang realistis menurunkan angka intoleransi ialah pendekatan hukum. Pada kasus penghinaan  atau penodaan agama, kerap sekali hakim menjatuhkan vonis ringan kepada terdakwa meskipun kasus penghinaan atau penodaan agama merupakan kasus sensitif memicu disintegritas bangsa. Revisi terhadap pasal 156a Kitab undang Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun pembuatan undang undang anti penghinaan agama bisa menjadi cara efektif menekan intoleransi beragama. Tentu, revisi harus mencantumkan sanksi hukuman yang lebih berat.

Sertifikasi da'i lebih banyak menimbulkan  polemik daripada manfaat dalam menekan intoleransi beragama.

Satu. Rencana da'i bersertifikat menunjukkan adanya eksklusivitas kebijakan. Kebijakan da'i (penceramah) bersertifikat semestinya juga ditujukan kepada pemuka agama selain Islam. 

Hal di atas sekaligus bisa menepis kecenderungan sikap intoleransi hanya tertuju kepada satu agama mayoritas.

Dua. Bila tujuan sertifikasi da'i untuk menciptakan toleransi, itu secara tidak langsung menjadi pengakuan bahwa Islam sebagai agama yang intoleran. 

Kenyataannya, justru banyak ajaran Islam yang dilecehkan dan dihina oleh umat beragama lain.

Pelanggaran toleransi ialah perkara hukum yang tidak akan bisa dicegah atau dituntaskan dengan selembar sertifikat.

Tiga. Sertifikasi da'i sangat mungkin  menimbulkan keterbelahan diantara para  da'i  umat Islam. Alih-alih menciptakan toleransi beragama, sertifikasi da'i berpotensi memecah belah umat Islam sendiri. Hal itu dapat terjadi karena para da'i yang memiliki sertifikat akan merasa memiliki kedudukan lebih tinggi di mata pemerintah daripada para da'i yang tidak memiliki sertifikat. 

Di sisi lain, da'i bersertifikat tidak serta merta  memiliki keunggulan keilmuan daripada yang tidak memilikinya.  

Misalkan. Seorang da'i yang menguasai tafsir Qur'an (mufassir) syarah Hadits (muhadits) telah lama berdakwah namun ia tidak mengikuti program sertifikasi da'i apakah lantas ia dikatakan kurang derajat ilmunya dibandingkan dengan da'i yang tidak begitu memahami tafsir Qur'an dan syarah Hadits namun ia mengikuti program sertifikasi da'i ?

Empat. Sertifikasi da'i merupakan kebijakan salah sasaran. Kebanyakan aksi intoleran dilakukan oleh antar umat beragama, bukan oleh da'i.

Saya belum menemukan suatu kasus aksi intoleran dilakukan oleh para da'i umat Islam. Artinya, da'i umat Islam lebih dahulu memahami dan mengamalkan toleransi beragama sebelum dicetuskannya program sertifikasi da'i.

Benar nggak ????

Lima. Program sertifikasi da'i dengan sendirinya menunjukkan suatu program yang diragukan keberhasilannya. 

Itu tampak dari syarat keikutsertaan yang tidak mengikat (sukarela) kepada para da'i. Jika Kementerian Agama serius dan yakin akan keberhasilan sertifikasi da'i, maka kementerian agama harus mengeluarkan regulasi yang mewajibkan para da'i memiliki sertifikat sebelum berdakwah.

What next ?

(***)





 



 



Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah