Skip to main content

Gerakan Sehari Tanpa Nasi



Salatiga merupakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kota tempat kelahiran aktor kondang Roy Marten dan mantan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil ini terkenal dengan kesejukannya. Tetapi, bukan pada kesejukan Kota Salatiga yang menjadi tema tulisan ini. Sebuah gagasan dari Walikota Salatiga menjadi alasan tulisan ini saya buat.

Gagasan menarik dari Walikota Salatiga, Yuliyanto, ialah Gerakan Sehari Tanpa Nasi (GSTN).

Nasi merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Saya yakin bahwa nasi juga menjadi makanan pokok bagi hampir seluruh warga Kota Salatiga. Meski segala jenis makanan telah dimakan, tetap saja belum dinamakan makan bila belum menjadikan nasi sebagai makanannya.
Bukan begitu ?

Sedalam saya pahami, Gerakan Sehari Tanpa Nasi (GSTN) dicanangkan oleh Walikota Salatiga memiliki dua tujuan yaitu meningkatkan kesehatan tubuh dengan diet rendah karbohidrat dan diversifikasi pangan.

Nasi sebagai sumber makanan pokok harus diakui  memiliki tiga dampak  buruk bagi kesehatan yakni : rendah serat, meningkat risiko diabetes melitus dan  kegemukan (obesitas). Ketiga dampak buruk ini coba dihilangkan dengan mengganti nasi sebagai sumber makanan pokok. Sementara itu, diversifikasi pangan diharapkan mampu memberikan banyak pilihan bahan makanan pokok selain nasi.

Saya apresiasi niat baik walikota tersebut. Wujud apresiasi saya ialah optimisme bahwa GSTN di Salatiga dapat berhasil.

Optimisme saya mengenai keberhasilan GSTN di Kota Salatiga tentu berbasis data empirik yaitu  ketahanan pangan sebagai daya dukung utama.

Ketahanan pangan menggambarkan kondisi faktual tentang ketersediaan pangan di Kota Salatiga dan kemudahan bagi warga untuk memperolehnya.

Ruh program GSTN sejatinya ialah pergeseran ketergantungan masyarakat terhadap nasi sebagai sumber bahan makanan pokok.
Oleh karena itu diperlukan sumber bahan makanan lain sebagai pengganti (substitusi) nasi.

Mencari substitusi bahan pangan selain nasi sejatinya mudah dilakukan di Kota Salatiga. Letak geografis Kota Salatiga yang berada di lereng Gunung Merbabu memberikan kesuburan tanah luar biasa sehingga mencari bahan pangan selain nasi merupakan hal yang sangat mungkin.

Bahan pangan alternatif selain nasi berupa singkong, jagung dan umbi-umbian serta beragam sumber karbohidrat sangat melimpah jumlahnya di Kota Salatiga.

Data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2019 menempatkan Kota Salatiga berada di posisi tertinggi Indeks Ketahanan Pangan (IKP) tertinggi sebesar 88,82 mengalahkan lima kota di Jawa Tengah.

Posisi ke dua sampai ke enam secara berurut ditempati oleh Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Magelang dan Kota Surakarta.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Charitas Fibriani¹ di Dinas Pangan Kota Salatiga menyimpulkan bahwa terdapat tiga kategori ketahanan pangan di 22 kelurahan di Kota Salatiga.

Ketahanan Tinggi terdapat di 11 kelurahan yaitu : Kutowinangun, Cebongan, Blotongan, Salatiga, Sidorejo Lor, Tingkir Tengah, Gendongan, Mangunsari, Tegalrejo dan Dukuh.

Ketahanan Sedang terdapat di 8 kelurahan yaitu : Tingkir Lor, Kalibening, Randuacir, Bugel, Ledok, Pulutan, Kecandran, dan Kalicacing.

Kerahanan Rendah terdapat di 3 kelurahan yaitu : Kumpulrejo, Sidorejo Kidul dan Noborejo.

Berpijak pada data dari BKP Kementan dan Dinas Pangan Kota Salatiga di atas, ketahanan pangan sebagai daya dukung utama GSTN mampu memberikan optimisme keberhasilan tinggi.

Ketahanan pangan sebagai daya dukung utama GSTN tidaklah berarti tanpa konsistensi kebijakan Walikota Salatiga.

Yuliyanto selaku Walikota Salatiga dituntut mampu memberdayakan segala potensi daerah terutama sumber daya manusia.

Dengan pengalaman Yuliyanto sebagai Walikota Salatiga untuk  kali kedua,  saya yakin ia memiliki kecakapan dalam membangun sistem guna mendukung keberhasilan GSTN.

(***) 

¹. Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.





Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah