Skip to main content

Usulan Senjata Api




Usulan ketua MPR, Bambang Soesatyo, kepada Kapolri, Idham Aziz, agar masyarakat dipermudah memiliki senjata api merupakan satu gagasan menyeramkan.

Beragam tanggapan muncul. Di ranah media sosial (medsos) berkembang pemikiran liar bahwa usulan tersebut mirip cara Partai Komunis Indonesia (PKI)  mengusulkan agar kaum buruh dan petani dipersenjatai. Saya pribadi, tidak sampai sejauh itu berpikirnya. Terlalu paranoid. 

Izin kepemilikan senjata api sudah ada di Indonesia. Tetapi, pemberian izin kepemilikan senjata api hanya bisa diberikan kepada individu terkait dengan jabatan/pekerjaan dengan tingkat resiko/ancaman tinggi. Jadi, usulan kepemilikan senjata api sejatinya bukan hal baru. 

Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ialah tugas Kepolisisan Republik Indonesia (Polri). Di sisi lain, setiap warga negara juga wajib menjaga keselamatan dirinya  dan tidak bisa sepenuhnya menyandarkan  keselamatan diri kepada Polri.

Saya sebagai warga negara sangat tidak setuju dengan usulan Ketua MPR. Izin kepemilikan senjata api dengan tujuan membela diri sejauh ini belum ada studi yang menunjukkan keefektivannya. Justru, adanya kemudahan  masyarakat memiliki senjata api akan muncul sejumlah permasalahan baru.

Polri merupakan institusi negara yang berwenang dalam mengeluarkan izin kepemilikan senjata. Bila Polri memberikan izin kepemilikan senjata secara mudah, hal tersebut malah menelanjangi kemampuan Polri dalam menjaga dan memelihara keamanan. Seolah-olah Polri sudah tidak mampu menjalankan tugasnya dan menyerahkan kewajiban menjaga keamanan kepada setiap individu.

Di negara manapun, angka kejahatan selalu berbanding lurus dengan jumlah senjata api  beredar di masyarakat. Tidak pernah ada studi yang menyatakan bahwa angka kejahatan berbanding terbalik dengan jumlah senjata api beredar di masyarakat. 

Di Indonesia, trend kenaikan kriminalitas tetap terjadi meskipun ada syarat sangat ketat dalam izin kepemilikan senjata api. 
Apa yang terjadi bila izin kepemilikan senjata api dipermudah ?
Saya tidak bisa membayangkan kengerian yang akan terjadi. 

Kemudahan dalam izin kepemilikan senjata api sangat mungkin menimbulkan aksi kekerasan dengan menggunakan senjata api. Penembakan, bunuh diri, intimidasi, pasar gelap senjata, merupakan beberapa peristiwa potensial terjadi akibat hal tersebut. 

Keadaan ini bertolak belakang dengan yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Sebagian besar rakyat AS mendukung diberlakukannya pelarangan kepemilikan senjata api. Banyaknya fenomena penembakan massal menjadi salah satu latar belakang munculnya dukungan tersebut. Fenomena tersebut didukung data empirik bahwa pada tahun 2017 terdapat 120,5 senjata api untuk 100 penduduk. Artinya, peningkatan jumlah senjata api sebagai alat bela diri tidak menjamin meningkatnya tingkat keamanan, justru sebaliknya. Tentu itu sebuah paradoks.

Bila tujuan utama kepemilikan senjata api untuk menjaga diri, maka solusi yang tepat ialah adanya dukungan riil terhadap peningkatan kekuatan Polri dalam tugasnya menjaga keamanan dan penegakan hukum. 
Pilihan memberi kemudahan kepemilikan senjata api bukan menjadi opsi elegant dilakukan. 

Tahun 2014, Kapolri Jenderal Sutarman menyatakan bahwa saat itu rasio Polri terhadap masyarakat ialah 1:575 sedangkan rasio ideal ialah 1:300.
Tahun 2017, Asisten Sumber Daya Manusia (SDM) Kapolri, Inspektur Jenderal Arief Sulistyanto masih tetap menyatakan bahwa rasio ideal Polri terhadap masyarakat tetap 1:300, sementara saat itu rasio yang ada 1:750.
Kedua statement di atas mengindikasikan bahwa rasio personil Polri terhadap masyarakat merupakan salah satu faktor utama terciptanya keamanan di masyarakat. 

Di balik usulan Ketua MPR, saya menilai bahwa usulan itu sebagai alat promosi terhadap suatu event yang segera akan digelar yakni : Lomba Asah Kemahiran Menembak bagi para pemilik izin khusus senjata api bela diri. Kegiatan tersebut memperebutkan piala Ketua MPR. Kebetulan, Bambang Soesatyo  menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Bela Diri (DPP Perikhsa) dan Anggota Dewan Penasehat Pengurus Besar Persatuan Menembak Indonesia (PB Perbakin).

Sekali lagi. Tak perlu ditanggapi serius adanya usulan Ketua MPR tersebut.

Capek dech....!!!!!

(***)





Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah