Skip to main content

Arteria Cucu Tokoh Komunis ?



Dalam sebuah diskusi di salah satu televisi swasta nasional, terungkap sebuah hal mengejutkan bahwa Arteria Dahlan merupakan cucu seorang tokoh komunis Sumatera Barat, Bachtaruddin.

Pada saat diskusi berlangsung, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut tampak relax menanggapi tudingan bahwa ia cucu seorang tokoh PKI. Namun, keesokan harinya ia sibuk mementahkan tudingan tersebut. 
Saya bisa memahami kegelisahan Arteria Dahlan bahwa ia sangat tidak nyaman disangkut-pautkan dengan komunis. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar masyarakat Indonesia terlalu mudah memberikan stigma negatif kepada anak-cucu tokoh komunis.

Teri, panggilan Arteria Dahlan, banyak melakukan bantahan terhadap tudingan yang dialamatkan kepadanya. Namun, semua itu tidak bisa mengubah penilaian publik bahwa ia seorang cucu tokoh partai terlarang di Indonesia.

Sebagian besar warga negara Indonesia, termasuk saya sangat menentang ideologi komunis yang dibawa oleh PKI. Bayang bayang kekejian pemberontakan PKI tahun 1948 dan tahun 1965 menjadi ingatan buruk yang sulit terhapus dari ingatan masyarakat Indonesia, terutama umat Islam.

Meski saya sangat membenci ideologi komunis, namun saya berpendapat bahwa seseorang tidak dengan sendirinya menjadi seorang komunis hanya karena faktor keturunan. 

Menjadi seorang komunis merupakan pilihan hidup dari seseorang. Transformasi individu menjadi seorang komunis pasti melalui satu proses : indoktrinasi. 

Proses indoktrinasi merupakan internalisasi paham komunisme ke dalam pemikiran seseorang. Ini terjadi pada dedengkot Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Muso terlahir di lingkungan religius tinggi. Ia merupakan putra seorang ulama bernama K. H. Hasan Muhyi dari Kediri. Kemudian,  D.N. Aidit terlahir dan dibesarkan di lingkungan religius di Kepulauan Bangka Belitung. Ayahnya bernama K.H. Abdullah Aidit, seorang pendiri organisasi Nurul Islam. 
Haji Misbach, seorang mubaligh dari Surakarta. Ia menjadi seorang komunis karena kekecewaannya terhadap lembaga keagamaan Islam yang tidak bisa berbuat banyak terhadap kaum dhuafa. Bahkan, M. H. Lukman putra dari H. Muchlas, seorang tokoh Sarekat Islam, pun bisa berubah menjadi komunis.

Muso, D. N. Aidit, H. Misbach dan M. H. Lukman merupakan beberapa individu berlatar belakang religius namun berubah menjadi komunis karena internalisasi ideologi ke dalam pemikirannya.

Sebaliknya, seseorang terlahir sebagai keturunan penganut komunisme tidak serta merta ia menjadi seorang komunis. Seorang keturunan komunis akan menjadi komunis bila ia menjalankan ideologi komunis. Hal itu cukup menjadi bukti keberhasilan internalisasi ideologi komunis dalam dirinya.  

Pernyataan di atas senada dengan apa yang disampaikan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab bahwa anak keturunan PKI merupakan saudara bila ia tidak menjalankan ideologi komunis.  (Pikiran Rakyat Bogor, 10 Juni 2020).

Setiap diri kita hendaknya tidak tergesa melabeli orang lain sebagai komunis hanya karena ia keturunan tokoh komunis.

Arteria Dahlan mesti membuktikan bahwa dirinya berbeda ideologi dengan kakeknya sehingga ia tidak dinilai sebagai politikus berideologi komunis.

(***)






Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah