Seorang Fahri Hamzah tidak bisa dilepaskan dari Partai Gelora. Ia merupakan konseptor dan deklarator partai dimana Anis Matta duduk sebagai ketua umum.
Sebagai sebuah partai baru, Partai Gelora menawarkan gagasan berbeda daripada sejumlah partai politik yang telah ada. Arah Baru menjadi tagline partai yang bulan Mei silam mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Empat bulan pasca pengesahan oleh kemenkumham, Partai Gelora telah mengecewakan beberapa pihak yang sedari awal bersimpati kepada partai tersebut.
Kekecewaan kepada partai ini timbul tatkala Partai Gelora mendukung anak dan menantu Presiden Joko Widodo berlaga di pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020.
Fahri Hamzah dengan Partai Gelora-nya tampak tidak konsisten menentang politik dinasti.
Anak dan keluarga presiden jokowi masih muda..sebaiknya jangan masuk politik ketika belum matang dan ketika situasi bisa menyeret publik menilai bahwa presiden ingin membangun dinasti keluasaan..santai ajalah..berilah tenaga pada reputasi presiden itu lebih penting sekarang.. Cuitan akun @Fahrihamzah pada tanggal 8 Oktober 2019.
Fahri Hamzah beserta Partai Gelora seharusnya konsisten berada di jalur oposisi nonparlemen kepada pemerintahan Joko Widodo.
Itu terjadi karena Fahri Hamzah merupakan simbol oposisi kepada pemerintahan Joko Widodo. Fahri
mampu menerjemahkan kekecewaan rakyat kepada pemerintahan Joko Widodo yang kian hari semakin jauh dari Nawacita yang diagungkan mantan Walikota Surakarta tersebut.
Tidak ada kebijakan Presiden Joko Widodo yang selamat dari kritik Fahri Hamzah. Saking tajamnya kritik kepada pemerintah, Fahri kerap dikatakan tukang nyinyir terhadap apapun kebijakan pemerintah.
Saya tidak menyalahkan kekecewaan masyarakat kepada Partai Gelora. Mereka menaruh harapan besar kepada partai ini agar mampu menjadi penunjuk "arah baru" perjalanan negeri.
Namun, saya meyakini bahwa langkah Partai Gelora mendukung anak dan menantu Joko Widodo merupakan strategi politik yang sedang dijalankan. Saya sangat yakin bahwa bukan faktor Gibran dan Bobby yang menjadi alasan Partai Gelora berbalik arah mendukung pemerintahan Joko Widodo.
Gibran dan Bobby sama sekali tidak memiliki sisi positif berpolitik di mata Fahri Hamzah, Anis Matta dan Mahfud Sidik. Sebagai mantan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mereka bertiga memahami bahwa hanya kader dengan kompetensi terbaik dan bekal politik memadai akan didukung secara all out.
Itu menjadi karakter Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai kader yang menjunjung tinggi proses kaderisasi dalam menghasilkan pemimpin.
Saya yakin sikap tersebut tetap tertanam dalam diri mereka bertiga.
Jika harus berpikir out of the box, saya berkeyakinan bahwa sikap Partai Gelora mendukung Gibran dan Bobby memiliki dua tujuan.
Satu. Insentif politik.
There is no free lunch selalu terjadi dalam deal politik. Tidak ada dukungan tanpa imbal baik. Dengan mendukung Gibran dan Bobby, Partai Gelora berharap Presiden Joko Widodo memberi insentif guna membesarkan partai.
Entah deal apa yang disepakati, tetapi pada akhirnya tetap bermuara pada kepentingan jangka panjang Partai Gelora.
Dua. Publikasi.
Tidak bisa dinafikan bila kehadiran Partai Gelora dalam perpolitikan Indonesia masih seumur jagung. Ia perlu memperkenalkan diri ke hadapan publik tentang eksistensinya.
Satu cara tepat saat ini ialah mendukung anak dan menantu Joko Widodo berlaga di pilkada. Meskipun, ini disadari menimbulkan resistensi publik kepada Partai Gelora seperti sekarang terjadi.
Kita mesti maklum dengan langkah Partai Gelora saat ini.
Namanya juga usaha.
ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¤
(***)
Comments
Post a Comment