Skip to main content

Posts

Showing posts from 2021

Hidayah

Lebih dua dasawarsa, saya tidak bersua sejumlah teman saat masih bersama menimba ilmu di sekolah menengah.  Banyak perubahan fisik diantara kami, pasti. Tetapi, raut muka dan karakteristik personal tetap  ajeg  diantara kita. Banyak  obrolan  saling kami bagi. Dari sekian ragam pembicaraan ada satu yang menarik, menurut saya, untuk dipetik sebagai perjalanan hidup : hidayah. Saya tertegun sebab kini banyak teman yang dulu beragama selain Islam, kini telah memilih Islam sebagai jalan hidup.  Nggak  ragu saya mengatakan dulu mereka kafir, kini  muallaf. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tathimush shalihaat.  Sambil  mbatin,  saya meyakinkan diri bahwa mereka menjadi  muallaf  bukan karena mi instan, beras dan minyak goreng serta sembako (sembilan bahan pokok). Saya kaget [namun tidak sampai  lebay ], karena mereka berpindah keyakinan menjadi muslim. Saya yakin, itu semua terjadi karena hidayah Allah  Tabaraka wa Ta'ala.  Namun, saya tidak yakin bila hidayah kepada meraka datang se

Angka Kematian Hilang Karena Luhut

Rasanya terlalu berat untuk membenarkan keputusan koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia---untuk Luhut, saya lebih nyaman memakai kata ganti dia daripada beliau ---memutuskan tidak memasukkan angka kematian sebagai indikator harian dalam penanganan pandemi Covid . Keputusan tersebut hampir pasti melukai perasaan keluarga korban meninggal akibat Covid . Seolah kematian anggota keluarga mereka tidak berarti di mata pemerintah. Selain merepresentasikan sikap nir-empati kepada keluarga korban meninggal, keputusan Luhut menghilangkan angka kematian juga mengacaukan penanganan pandemi Covid itu sendiri. Langkah Luhut tersebut dilatarbelakangi banyak kesalahan dalam memasukkan (entry) angka kematian harian. Jika ini sebagai akar masalahnya, maka pembenahan sistem entry data kematian menjadi solusinya. Menghilangkan data kematian justru menjadi bentuk "lari" dari kesalahan. Secara terbuka, saya sangat ragu bila kesa

Sertifikat Vaksin

Mobilitas masyarakat selama perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat semakin diperketat. Satu indikasi kebijakan tersebut ialah  kewajiban masyarakat menunjukkan sertifikat vaksin ketika hendak menggunakan tempat atau fasilitas umum. Misal,  shopping window di  pusat perbelanjaan hanya bisa dilakukan oleh masyarakat ketika mereka menunjukkan sertifikat vaksin. Bagi yang tinggal di Jakarta, syarat utama menggunakan moda transportasi TransJakarta ialah  menunjukkan sertifikat vaksin kepada petugas di halte pemberangkatan. Dan sejumlah kegiatan di luar rumah lainnya mesti menunjukkan sertifikat vaksin. "Yups. Benar !!!" Popularitas sertifikat vaksin seolah sedang naik daun dan mengalahkan beragam kartu identitas lainnya. Terhadap kebijakan tersebut, sejujurnya saya berada pada posisi dilematis apakah  menerima atau menolak. Tujuan kebijakan tersebut ialah mendorong  masyarakat proaktif dan antusias menerima vaksin sebagai sarana melin

Kritik

Kerap kita saksikan di pelbagai media tentang berbagai respon pejabat publik terhadap kritik. Kritik ialah bentuk penilaian masyarakat terhadap kebijakan (termasuk kinerja)  pejabat. Setajam dan sebengis apapun bentuk kritik tidak akan bisa mengubah suatu kebijakan yang telah ditetapkan bila pejabat bersikeras dengan sikapnya. Senyum, guyon  bahkan sikap reaktif merefleksikan pemahaman para pejabat tentang kritik yang mereka terima.  Senyum pejabat dalam menanggapi kritik bisa ditafsirkan beragam oleh masyarakat. Ada pejabat yang tersenyum tulus mengakomodasi kritik terhadapnya. Saya memberi kredit terhadap sikap mereka. Hal itu menandakan sikap legowo mau menerima kritik. Sikap demikian hanya bisa masyarakat peroleh dari para pejabat yang menyadari bahwa tugas utamanya ialah sebagai pelayan masyarakat. Namun, jangan lupa bahwa senyum pejabat ketika menerima kritik juga bermakna sikap sebaliknya. Satu contoh ialah Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto. Dibalik senyum