Kerap kita saksikan di pelbagai media tentang berbagai respon pejabat publik terhadap kritik.
Kritik ialah bentuk penilaian masyarakat terhadap kebijakan (termasuk kinerja) pejabat. Setajam dan sebengis apapun bentuk kritik tidak akan bisa mengubah suatu kebijakan yang telah ditetapkan bila pejabat bersikeras dengan sikapnya.
Senyum, guyon bahkan sikap reaktif merefleksikan pemahaman para pejabat tentang kritik yang mereka terima.
Senyum pejabat dalam menanggapi kritik bisa ditafsirkan beragam oleh masyarakat. Ada pejabat yang tersenyum tulus mengakomodasi kritik terhadapnya. Saya memberi kredit terhadap sikap mereka. Hal itu menandakan sikap legowo mau menerima kritik. Sikap demikian hanya bisa masyarakat peroleh dari para pejabat yang menyadari bahwa tugas utamanya ialah sebagai pelayan masyarakat.
Namun, jangan lupa bahwa senyum pejabat ketika menerima kritik juga bermakna sikap sebaliknya. Satu contoh ialah Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto. Dibalik senyum ramahnya ketika dikritik, justru muncul kekhawatiran menakutkan dari pengkritiknya.
Tidak banyak tipe pejabat yang menanggapi kritik dengan guyon. Bila ada, saya merasa confused dengan sikap guyon-nya. Abdurrahman "Gus Dur" Wahid merupakan seorang yang tidak terlalu serius menanggapi kritik yang dialamatkan kepadanya selama menjadi Presiden keempat Republik Indonesia.
"Gitu aja kok repot !"
Seloroh tersebut sangat melekat dengan sosok beliau sebagai pemimpin yang sangat akomodatifnya terhadap kritik.
Point terakhir yang menarik diperbincangkan ialah reaktivitas sikap pejabat terhadap kritik.
Pejabat saat ini menjabat di era keterbukaan. Sehingga, sikap primordialisme tidak pas diterapkan oleh dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Sikap primordialisme pejabat tampak ketika mereka selalu menempatkan diri lebih tinggi di masyarakat. Shortly, sebagai pejabat, mereka merasa memiliki privilege yang harus diagungkan oleh masyarakat. Dengan kedudukan melekat pada dirinya tersebut, mereka tersihir bahwa kritik kepada mereka ialah suatu keharaman atau suatu hal tabu untuk dilakukan masyarakat.
Sebagai pejabat publik semestinya mereka menyadari kembali bahwa tugas yang diembannya ialah melayani masyarakat. Setiap kebijakan yang dilahirkan harus berorientasi menyejahterakan masyarakat.
Relasi antara pejabat dengan masyarakat laksana hubungan pekerja dan boss.
Pekerja melakukan pekerjaan untuk boss. Imbalan atas pekerjaan yang mereka lakukan ialah upah yang rutin mereka terima.
Pejabat bertugas untuk melayani masyarakat. Penghargaan atas kinerja pejabat berupa gaji dan tunjangan yang rutin mereka peroleh.
Darimana gaji itu mereka terima ?
Bukankah dari uang masyarakat ?
Bila demikian hubungan yang terjadi, apakah masyarakat keliru jika mengkritik pejabat agar kebijakan yang dilahirkan dapat dirasa positif bagi mereka ?
Bukankah para pejabat itu bisa menjadi kaya dan bergelimang fasilitas serta meningkat kesejahteraannya karena pajak dari masyarakat ?
Sekarang kita melihat ke masyarakat sebagai pemberi kritik.
Sudah benarkah masyarakat dalam memahami kritik sebagai alat kontrol (controller) kebijakan ?
Harus kita akui bahwa sebagian masyarakat dengan pemahaman terbatas cenderung mengkritik pejabat dari sisi pribadi (personal), bukan dari sisi kinerja (performance).
Jika hal tersebut terjadi, maka itu bukan lagi suatu kritik melainkan suatu ujaran kebencian (hate speech). Dengan alasan rasional apapun sikap tersebut tidak bisa dibenarkan. Dengan demikian, sikap reaktif pejabat terhadap "kritik" yang mereka terima juga tidak bisa disalahkan. Siapapun akan melawan bila martabatnya sebagai individu terusik.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya mengukuhkan kembali pemahaman bahwa kritik ialah bentuk serangan legal terhadap suatu kebijakan bukan bentuk legitimasi serangan yang bertujuan merendahkan martabat individu.
Next. Saya asumsikan bahwa kritik dari masyarakat kepada pejabat benar benar sebuah kritik dan bukan hate speech.
"Jangan hanya bisa kasih kritik. Kasih solusi juga dong !!"
Kalimat di atas merepresentasi sikap pejabat yang resisten terhadap kritik. Pun, dengan kalimat senada.
Selayaknya kita pahami kembali bahwa kritik tidak mempersyaratkan solusi.
Kritik ialah kritik. Solusi tetaplah solusi.
Kritik menjadi alat kendali agar kebijakan tidak salah arah atau ke-bablas-an.
Solusi menjadi jalan keluar memecah kebuntuan yang dihadapi.
Sehingga kritik dan solusi merupakan dua entitas yang bertolak belakang dan bertindak sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Kritik menjadi hak masyarakat agar mendapat yang terbaik dari beragam kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik.
Solusi menjadi hak pejabat yang bisa mereka dapatkan dari konsultan terbaik yang bekerja membantu merumuskan kebijakan.
(***)
Comments
Post a Comment