Skip to main content

Posts

Hidayah

Recent posts

Angka Kematian Hilang Karena Luhut

Rasanya terlalu berat untuk membenarkan keputusan koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia---untuk Luhut, saya lebih nyaman memakai kata ganti dia daripada beliau ---memutuskan tidak memasukkan angka kematian sebagai indikator harian dalam penanganan pandemi Covid . Keputusan tersebut hampir pasti melukai perasaan keluarga korban meninggal akibat Covid . Seolah kematian anggota keluarga mereka tidak berarti di mata pemerintah. Selain merepresentasikan sikap nir-empati kepada keluarga korban meninggal, keputusan Luhut menghilangkan angka kematian juga mengacaukan penanganan pandemi Covid itu sendiri. Langkah Luhut tersebut dilatarbelakangi banyak kesalahan dalam memasukkan (entry) angka kematian harian. Jika ini sebagai akar masalahnya, maka pembenahan sistem entry data kematian menjadi solusinya. Menghilangkan data kematian justru menjadi bentuk "lari" dari kesalahan. Secara terbuka, saya sangat ragu bila kesa

Sertifikat Vaksin

Mobilitas masyarakat selama perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat semakin diperketat. Satu indikasi kebijakan tersebut ialah  kewajiban masyarakat menunjukkan sertifikat vaksin ketika hendak menggunakan tempat atau fasilitas umum. Misal,  shopping window di  pusat perbelanjaan hanya bisa dilakukan oleh masyarakat ketika mereka menunjukkan sertifikat vaksin. Bagi yang tinggal di Jakarta, syarat utama menggunakan moda transportasi TransJakarta ialah  menunjukkan sertifikat vaksin kepada petugas di halte pemberangkatan. Dan sejumlah kegiatan di luar rumah lainnya mesti menunjukkan sertifikat vaksin. "Yups. Benar !!!" Popularitas sertifikat vaksin seolah sedang naik daun dan mengalahkan beragam kartu identitas lainnya. Terhadap kebijakan tersebut, sejujurnya saya berada pada posisi dilematis apakah  menerima atau menolak. Tujuan kebijakan tersebut ialah mendorong  masyarakat proaktif dan antusias menerima vaksin sebagai sarana melin

Kritik

Kerap kita saksikan di pelbagai media tentang berbagai respon pejabat publik terhadap kritik. Kritik ialah bentuk penilaian masyarakat terhadap kebijakan (termasuk kinerja)  pejabat. Setajam dan sebengis apapun bentuk kritik tidak akan bisa mengubah suatu kebijakan yang telah ditetapkan bila pejabat bersikeras dengan sikapnya. Senyum, guyon  bahkan sikap reaktif merefleksikan pemahaman para pejabat tentang kritik yang mereka terima.  Senyum pejabat dalam menanggapi kritik bisa ditafsirkan beragam oleh masyarakat. Ada pejabat yang tersenyum tulus mengakomodasi kritik terhadapnya. Saya memberi kredit terhadap sikap mereka. Hal itu menandakan sikap legowo mau menerima kritik. Sikap demikian hanya bisa masyarakat peroleh dari para pejabat yang menyadari bahwa tugas utamanya ialah sebagai pelayan masyarakat. Namun, jangan lupa bahwa senyum pejabat ketika menerima kritik juga bermakna sikap sebaliknya. Satu contoh ialah Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto. Dibalik senyum

Pertanyaan Konyol

Aksi unjuk rasa menolak pengesahan Undang Undang Cipta Kerja telah terjadi sejak Selasa 6 Oktober 2020. Demonstrasi buruh dan mahasiswa terjadi hampir di seluruh provinsi menjadi bukti undang undang yang disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 tersebut berlawanan dengan kehendak rakyat. Satu pertanyaan konyol datang dari pihak yang mendukung undang undang tersebut. Mereka kerap melontarkan pertanyaan "Sudah membaca seluruhnya isi undang undang tersebut ?" Dengan melontarkan pertanyaan tersebut, seolah-olah mereka sangat memahami setiap pasal dan penjelasan yang ada di draft undang undang yang berjumlah lebih dari 900 halaman. Padahal, mereka bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun tim ahli yang merumuskan setiap pasal yang ada dalam Undang Undang Cipta Kerja itu. Konyol. Hanya karena mendukung pemerintah, serta merta ia memiliki pemahaman super cepat terhadap detail Undang Undang Cipta Kerja. Okey . Itu hak mereka menjadi sok paling mengerti Undang Undang Cipta

Semut

Kebesaran jiwamu mengungguli kecilnya ragamu Kesucian hatimu mencerahkan hitam kulitmu Kebersamaanmu menutupi lemahnya dirimu Kepasrahanmu mencukupi kebutuhanmu Kesabaranmu menciptakan keteraturan sesamamu Ketaatanmu sungguh mengesankan nan tiada banding Sulaiman pun tersenyum Menatap kaummu bergegas menuju kegelapan tempatmu singgah (***)

Sahabat Hening

Kita berkawan lama Tangis pertamaku Memecah sunyimu Waktu entah kapan berakhir Umur kita makin menua Kerut kulitku tergambar nyata Namun,... Heningmu tetap nyaman untukku Wahai malam,... Aku tetap bersahabat denganmu Aku tetap merindukan sunyimu Bersabar bersamamu Berharta pikiranku (***)