Skip to main content

Calon Tunggal




Calon tunggal merupakan sebuah keharusan  bagi mereka yang ingin menikah. Tentu, adanya calon tunggal dan dicintai merupakan sebuah kebahagiaan. 

Dalam konteks demokrasi, adanya calon tunggal bukanlah suatu kebahagian. Sebaliknya, hal itu justru mendatangkan kesedihan. Kesedihan karena masyarakat tidak bisa memilih satu diantara yang terbaik untuk menjadi pemimpin.

Pilkada yang dijadwalkan berlangsung pada Desember 2020 berpotensi menjadi ajang memilih calon tunggal di pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Surakarta. Sampai hari ini, hanya Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa menjadi satu satunya pasangan calon yang diusung hampir seluruh partai politik di Kota Surakarta. Saya tidak tertarik membahas profil kedua orang tersebut sebagai pasangan calon tunggal peserta pilkada Kota Surakarta.

Munculnya pasangan tunggal di pilkada merupakan pertanda kemunduran demokrasi. Partai politik yang semestinya tempat melahirkan pemimpin berkualitas seolah tidak berdaya dalam mewujudkan hal tersebut. 

Fenomena munculnya pasangan calon tunggal disebabkan oleh ketidakberdayaan sejumlah partai politik dalam menghadapi dominasi atau pengaruh satu partai di suatu daerah.

Pemilu 2019 menghasilkan 45 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta dengan komposisi : 
Gerindra (3), PDIP (30), Golkar (3), PKS (5), PSI (1) dan PAN (3). 

Berkaitan dengan pilkada Kota Surakarta yang digelar pada akhir tahun 2020, semua fraksi di DPRD Kota Surakarta kompak mendukung pasangan calon tunggal. Hanya fraksi PKS sampai detik ini tidak ikut mendukung pasangan tunggal tersebut. 

Bila dicermati, sikap Gerindra, Golkar, PSI dan PAN sejatinya membuktikan bahwa keempat partai tersebut tunduk dihadapan dominasi PDIP sebagai pemenang  suara mayoritas di Kota Surakarta.

Selanjutnya, pasangan calon tunggal salah satunya ialah putra  Presiden incumbent, Joko Widodo. Sikap sejumlah besar partai  mendukung pasangan calon tunggal membuktikan adanya pengaruh kuat dari Istana pada proses pilkada Kota Surakarta.

Menurut UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), disyaratkan bahwa partai atau gabungan partai hanya bisa mengajukan calon kepala daerah untuk mengikuti pilkada bila memiliki perolehan suara sebanyak 20 % di DPRD.  

Perolehan suara PDIP sebanyak 30 kursi  atau sekitar 66,67 %  di DPRD Kota Surakarta sudah bisa membuat PDIP mengajukan calon psereta pilkada tanpa dukungan dari partai lain. Di atas kertas, dominasi PDIP di DPRD Kota Surakarta memperbesar peluang kemenangan pasangan yang  diusung. Inilah yang menarik bagi sejumlah partai lain untuk  bergabung dan tentu saja tidak perlu berdarah-darah dalam memenagkan calon yang diusung.

Sedangkan sisa 15 kursi atau sebanyak 33,33 % merupakan gabungan partai selain PDIP yang sejatinya bisa mengusung pasangan calon  sendiri. Jika hal itu dilakukan, maka pilkada Kota Surakarta akan menyuguhkan dua pasang calon. 

Ketiadaan pasangan calon penantang membuktikan bahwa partai partai tidak berdaya melawan PDIP di Kota Surakarta. 

Sejumlah partai tersebut seolah  mengakui sebagai partai yang tidak mampu menghasilkan kader terbaik untuk menjadi kepala daerah. 

Bagi mereka, bersikap pragmatis berupa mendukung calon dengan potensi kemenangan besar lebih baik dilakukan daripada bersikap idealis mengusung kader terbaik namun dengan potensi kemenangan kecil.

Bila tolok ukurnya ialah jumlah suara sebagai penentu kemenangan, maka hal tersebut boleh dan sangat wajar dilakukan. Tetapi, bila tolok ukurnya ialah tujuan partai sebagai kaderisasi menghasilkan pemimpin terbaik, maka hal tersebut sangat jauh dari tujuan.

Hasil Pilkada.

Hasil pilkada Kota Surakarta merupakan satu dari tiga prediksi.

1. Kemenangan Pasangan Tunggal.
Pilkada Kota Surakarta hampir pasti dimenangkan oleh pasangan tunggal Gibran-Teguh secara mutlak. 

Basis massa PDIP di Kota Surakarta terbukti mampu menguasai sebanyak 30 dari 45 kursi di DPRD Kota Surakarta.

Kelimpahan suara bisa semakin besar diperoleh dari basis massa partai Gerindra, Golkar, PSI dan PAN.

Pasca pilkada, dampak buruk yang sangat mungkin terjadi ialah lemahnya pengawasan dan sikap kritis DPRD Kota Surakarta terhadap kinerja Walikota Surakarta.

2. Kemenangan Tipis.
Legitimasi kemenangan calon tunggal pilkada Kota Surakarta tidak begitu kuat bila hasil perhitungan suara KPUD Kota Surakarta menunjukkan selisih kemenangan tipis antara pasangan calon tunggal dan kotak kosong.

3. Kemenangan Kotak Kosong.
Saya berkeyakinan bahwa hasil kemenangan kotak kosong merupakan suatu hal yang sangat sulit dapat terwujud di pilkada Kota Surakarta. 

Fanatisme dan loyalitas massa PDIP mampu meruntuhkan harapan adanya kemenangan kotak kosong di pilkada Kota Surakarta.

Pilkada serentak tahun 2018 diikuti setidaknya 12 pasang calon tunggal. Dari jumlah tersebut hanya satu pasang calon tunggal yang kalah melawan kotak kosong, yaitu pasangan Walikota dan Wakil Walikota Makassar. 

Tampaknya, kekalahan pasangan tunggal di pilkada Kota Makassar diubah menjadi pengalaman buruk yang wajib dihindari oleh kubu pengusung pasangan calon tunggal.

Let's see.


(***)








Comments

Popular posts from this blog

Masuk Angin

Tadi malam udara Kota Jakarta sangat dingin  karena hujan. Wanita yang melahirkanku masuk angin jadinya.  Penyakitnya wong ora duwe ya masuk angin. Mau dibawa ke rumah sakit tentu dikatakan  berlebihan.  Khawatir diketawain   BPJS Kesehatan. Masuk angin wae  ke rumah sakit. Lalu beliau minta tolong kepadaku untuk kerikan dan pijat di badan. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua... cieee .... Yaa harus melakukan yang diminta. Insya Allah. Ibuku kerap kerikan bila masuk angin. Itu karena kami wong cilik  sehingga  nggak cukup duit pergi ke dokter dan menebus obat ke apotek.  Ibuku juga bukan orang pintar yang minum Tolak Angin saat masuk angin.  Cukup kerikan sambil melestarikan warisan leluhur dalam pengobatan. Bismillah . Nyuwun bagas waras. Kuambil minyak gosok dan urut, uang logam Rp 1000 warna perak-kuning dan Rp 500 warna kuning serta tissue yang berada di wadahnya. Konon, harga kedua uang logam tersebut saat ini mencapai ratusan juta loh... Kuputarkan lagu lagu lawas k

Ora Opo Opo

Senin pagi ini Jakarta tampak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Tak seperti beberapa hari sebelumnya.   Hari ini tanggal 13 Juli 2020 dimulainya tahun ajaran baru bagi anak sekolah di semua jenjang. Semoga saja suasana mendung pagi ini bukan firasat tentang suramnya kualitas pendidikan di saat pandemi Corona yang belum menunjukkan kapan akan berakhir. Allahu A'lam . Saya tetiba teringat  ketika menjadi siswa baru di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Dulu, para murid baru mengawali sekolah di tingkat SMP dan SMA  dengan mengikuti upacara penerimaan siswa baru di hari Senin. Saat itu pula semua siswa saling berkenalan sesama mereka. Setelah mereka saling kenal maka pendidikan wajib yang harus diikuti ialah Penataran P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama satu minggu. Itu berlaku bagi murid baru tingkat SMP dan SMA. Jaman sekarang  istilah yang tepat menganalogikan hal di atas ialah MOS (Masa Orientas

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah