Influencer kerap dibutuhkan untuk mengenalkan beragam agenda kepada khalayak agar mereka bersedia melakukan suatu tindakan. Saya coba membatasi lingkup influencer hanya dalam bidang media sosial (medsos).
Tingkat keterkenalan seseorang berpotensi menjadikannya sebagai influencer. Ketika seorang pesohor (selebriti) memiliki akun media sosial, maka dengan tingkat keterkenalannya tersebut hampir pasti baginya memiliki peran baru sebagai influencer di dunia maya. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan ada sejumlah sosok non selebriti yang berperan sebagai influencer di dunia maya disebabkan keaktivannya di media sosial.
Influencer media sosial diindikasikan dengan kepemilikan jumlah pengikut (followers) yang luar biasa banyak dan konsisten bertambah jumlahnya. Saya harus mengakui bahwa saya seringkali tidak sependapat bahwa predikat influencer semata-mata didasarkan kepada kuantitas followers belaka.
Tugas pokok influencer pada intinya ialah melakukan komunikasi persuasif terhadap warganet (netizen). Influencer dituntut mampu meyakinkan warganet tentang suatu hal yang ia sampaikan. Feedback yang diharapkan dari netizen ialah suatu aksi nyata tentang apa yang disampaikan influencer tersebut.
Saat ini kita hidup di era dimana jumlah orang pintar sangat luar biasa melimpah. Lantas, apakah suatu penilaian yang tepat bila penyebutan influencer kepada seseorang hanya berdasarkan jumlah followers saja ?
Terdapat tiga syarat untuk menjadi seorang influencer efektif yaitu : kompetensi, kepercayaan dan persistensi.
Kompetensi.
Seorang influencer harus memiliki syarat mendasar yaitu adanya kompetensi. Kompetensi ialah keahlian tertentu yang dimiliki influencer untuk mempengaruhi netizen.
Kompetensi influencer tidak selalu harus berbasis akademik. Yang utama ialah adanya konsistensi di bidang tertentu dalam jangka panjang. Dengan keadaan tersebut, setidaknya seorang influencer memiliki basis pengetahuan yang memadai di bidangnya.
Adanya keterkaitan antara kompetensi influencer dan pesan yang disampaikannya memiliki hubungan linier dengan efektivitas penerimaan pesan oleh netizen. Influencer dengan latar belakang dunia hiburan seringkali berhasil dalam membangkitkan kreativitas kepada netizen. Sebaliknya, influencer dari kalangan pesohor (selebriti) kerapkali gagal total dalam membawakan sejumlah pesan di luar dunia hiburan.
Sayangnya, saat ini banyak influencer memiliki kompetensi berbeda dengan objek pesan yang hendak disampaikan kepada netizen. Akibatnya ialah kegagalan pesan persuasi yang disampaikan. Sejumlah influencer dengan kondisi demikian, lebih tepat disebut sebagai buzzer.
Kepercayaan.
Kepercayaan netizen terhadap influencer berkaitan dengan karakter (watak) influencer dalam dunia nyata di kehidupan keseharian.
Influencer dituntut menjadi teladan dalam setiap pesan yang ia sampaikan kepada netizen di media sosial.
Persuasi influencer kepada netizen sirna bila netizen mendapati watak influencer yang jauh dari norma dan etika yang berlaku. Bahkan, sangat mungkin muncul resistensi dari warganet sebelum influencer menyampaikan pesan persuasi kepada mereka.
Persistensi.
Persistensi seorang influencer dibuktikan dengan adanya eksistensi dirinya secara berkesinambungan di media sosial.
Persistensi memungkinkan adanya ruang kedekatan emosional antara influencer dengan sejumlah para followers di media sosial. Sehingga, kedekatan emosional yang terjalin erat antara influencer dan netizen berpotensi tinggi meningkatkan efektivitas persuasi dari influencer kepada netizen.
Finally, tidaklah seseorang bisa dikatakan influencer bila hanya ia bermodalkan jumlah followers semata.
(***)
Comments
Post a Comment