Skip to main content

Posts

Menyikapi Penutupan Masjid

Berita memprihatinkan saya baca pada hari Minggu, 2 Agustus 2020 mengenai adanya penutupan masjid oleh pemilik masjid. Tidak berselang lama, akhirnya masjid itu kembali dibuka untuk kegiatan ibadah. Bukan pada durasi waktu masjid tersebut ditutup, melainkan alasan penutupan masjid yang menjadi concern tulisan ini. Perbedaan "aliran" antara pemilik masjid dengan masyarakat menjadi sebab munculnya peristiwa di atas. Pemilik masjid beraliran salaf sedangkan masyarakat beraliran seperti keumuman mereka beragama selama ini.  Perbuatan menutup masjid hanya karena para jama'ah berbeda "aliran" tentu bukanlah sikap bijak.  Sejujurnya saya tidak sependapat dengan terminologi "aliran" seperti diberitakan. Saya lebih memilih mengganti "aliran" dengan "manhaj". Manhaj memiliki arti metode beragama. Manhaj salaf, sebagaimana yang dianut pemilik masjid, adalah metode beragama dengan meneladani generasi salaf yaitu shahabat , tabi'in dan

Rambut Pirang Pasha

Rambut pirang Wakil Walikota Palu, Pasha, menjadi trending di sejumlah berita di pekan lalu. Banyak polemik muncul berkaitan dengan tampilannya tersebut. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan teguran kepada yang bersangkutan terkait gaya rambutnya. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh pria bernama lengkap Sigit Purnomo Syamsuddin Said mengenai hal itu. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen OTDA), Akmal Malik, menegaskan hal tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada aturan mengenai larangan mewarnai rambut bagi seluruh kepala daerah di Indonesia. Ketiadaan aturan sebagai landasan hukum pelarangan mewarnai rambut memberi arti bahwa setiap kepala daerah di Indonesia bebas menentukan style warna rambut sesuai kemauan masing-masing. Sangat mudah dipahami.  Namun, ketiadaan aturan hukum tentang style warna rambut bukan berarti setiap pejabat negara bebas bertindak sekehendaknya. Satu penilaian tidak kalah penting daripada aturan hukum ial

Sekolah Swasta

Kemarin, saya membahas polemik pernyataan Mendikbud tentang sekolah negeri.  Kini, saya  mengulas sedikit tentang sekolah swasta. Harus dikatakan secara jujur bahwa kiprah masyarakat dalam dunia pendidikan telah lebih dulu ada sebelum berdirinya Republik Indonesia. Berpijak kenyataan di atas,  keberadaan sekolah swasta sewajarnya tetap dipertahankan keberadaannya.  Saya mencoba membagi dua jenis sekolah swasta, yaitu sekolah swasta favorit dan sekolah swasta mediocre . Sekolah swasta favorit mampu bersaing dengan sekolah negeri dalam menggaet  siswa. Tetapi, sekolah swasta mediocre dengan kualitas tak sebaik sekolah swasta favorit mengalami kesulitan dalam keadaan tersebut.  Sebagian pihak berpendapat bahwa kekurangan siswa menjadi sebab utama ancaman kebangkrutan sekolah swasta mediocre , itu  benar.  Namun, saya berpendapat bahwa sedikitnya jumlah siswa di sekolah swasta mediocre ialah akibat  mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta mediocre tetapi  kualitas pendidikan tidak s

Sekolah Negeri Terbuka bagi Seluruh Lapisan Masyarakat

Beberapa hari lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mangeluarkan pernyataan kontroversial bahwa sekolah negeri seharusnya hanya untuk lapisan masyarakat ekonomi rendah. Saya sedih mendengar hal tersebut. Seolah-olah strata ekonomi menjadi faktor tunggal  munculnya pernyataan tersebut. Saya menghargai  statement  Mendikbud. Namun, saya tidak melihat seperti demikian. Bukan pula membantah ucapan "Mas Menteri".  Sekolah didirikan sebagai salah wujud nyata bernegara yaitu mencerdaskan, membentuk karakter dan akhlak mulia bagi setiap anak bangsa, tanpa terkecuali.  Dalam perkembangannya, terjadi dikotomi kepemilikan sekolah yakni : sekolah negeri yang dimiliki negara dan sekolah swasta yang dimiliki oleh masyarakat.   Setidaknya tiga pertimbangan rasional digunakan oleh orang tua siswa untuk mendaftarkan anak mereka ke sekolah negeri. Pertimbangan itu menjadi Daya Tarik tersendiri.  Daya Tarik sekolah negeri bukan berarti ia lebih baik daripada sekolah swasta. Bu

Menyikapi Insiden Pembakaran Baliho HRS

Insiden pembakaran baliho bergambar Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS), oleh sejumlah massa demonstran semestinya tidak perlu terjadi. Memalukan. Alasan apapun tidak bisa menjadi pembenaran adanya tindakan tersebut. Sekarang, muncul aksi balasan dari sejumlah massa yang tidak terima atas insiden tersebut. Potensi konflik horizontal muncul, namun saya tidak berharap hal itu nyata terjadi. Menyikapi kejadian di atas, selayaknya masyarakat tidak perlu bersikap reaktif berlebihan. Saya bisa memahami kemarahan umat Islam atas insiden pembakaran baliho tersebut. Namun, kemarahan yang timbul tetap harus terkendali sehingga tidak menimbulkan keresahan yang lebih besar. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara  Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Setiap aparat yang bertugas menangani aksi unjuk rasa, saya menilai mereka memahami peraturan di atas. D

Following

Mengikuti (following) sebuah akun Twitter tampaknya menjadi hal wajib, meski hanya satu following . Sangat mudah mengikuti sebuah akun Twitter . Tinggal klik tombol following .  Dibalik kemudahannya, ada sejumlah pertimbangan untuk melakukan  following , meskipun ada sebagian pemilik akun Twitter  berprinsip 'asal klik' dalam  following .  Setiap pemilik akun Twitter memiliki pertimbangan spesifik untuk melakukan following. Patut dihormati hal tersebut. Saya pribadi menerapkan sejumlah pertimbangan untuk tidak mudah melakukan  following  kepada sebuah akun Twitter . Selektif melakukan following menjadi sebuah prinsip. Beberapa aspek menjadi pertimbangan saya melakukan following yaitu : rasio, tweet dan avatar . Rasio . Perbandingan antara follower  dan following tidak sangat jomplang . Sangat banyak follower namun sangat sedikit following mengindikasikan pemilik akun Twitter berlagak sok artis atau memang artis yang sebenarnya. Begitu katanya.  Bila hal itu saya te

Santai Menyikapi Guyonan

Penerimaan pesan komunikasi sangat beragam. Tidak sama. Sikap pro dan kontra merupakan bentuk  ketidaksamaan tersebut. Beberapa hari saya menyaksikan pro dan kontra terhadap ucapan seorang tokoh agama. Saya menyebutnya 'Ustadz.' Ucapan beliau yang menimbulkan polemik ialah memperbandingkan style pendakwah antar dua suku bangsa di Tanah Air. Saya harus akui bahwa membicarakan suku bangsa dalam ruang terbuka merupakan hal sensitif dan sebisa mungkin dihindari. Tidak menjadi persoalan bila hal tersebut didiskusikan dalam ruang tertutup. Sebagian masyarakat tentu sudah menyaksikan ceramah ustadz tersebut melalui media sosial, YouTube . Meski disampaikan dengan gaya bercanda, namun kesukuan bukanlah bahan guyonan terbaik. Saya mengkritik hal itu. Sejumlah pihak akan merasa disudutkan dengan guyonan tersebut. Itu hampir pasti meski tidak selalu. Respon masyarakat berbeda. Sebagian menilai hal itu sebagai joke semata tanpa tendensi apapun, sebagian lagi mengangap hal itu  sebuah pe