Skip to main content

Posts

Gerakan Sehari Tanpa Nasi

Salatiga merupakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kota tempat kelahiran aktor kondang Roy Marten dan mantan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil ini terkenal dengan kesejukannya. Tetapi, bukan pada kesejukan Kota Salatiga yang menjadi tema tulisan ini. Sebuah gagasan dari Walikota Salatiga menjadi alasan tulisan ini saya buat. Gagasan menarik dari Walikota Salatiga, Yuliyanto, ialah Gerakan Sehari Tanpa Nasi (GSTN). Nasi merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Saya yakin bahwa nasi juga menjadi makanan pokok bagi hampir seluruh warga Kota Salatiga. Meski segala jenis makanan telah dimakan, tetap saja belum dinamakan makan bila belum menjadikan nasi sebagai makanannya. Bukan begitu ? Sedalam saya pahami, Gerakan Sehari Tanpa Nasi (GSTN) dicanangkan oleh Walikota Salatiga memiliki dua tujuan yaitu meningkatkan kesehatan tubuh dengan diet rendah karbohidrat dan diversifikasi pangan. Nasi sebagai sumber makanan pokok harus diakui  memiliki tiga dampak  buruk ba

Seorang Raja Terusir dari Negerinya.

Seorang raja terusir dari negerinya bukan lagi sebuah mitos. Itu nyata. Raja Juan Carlos dari Spanyol menjadi pembicaraan sejumlah media di Eropa saat ini. Pria lanjut usia berusia 82 tahun tersebut harus meninggalkan Spanyol, negeri yang telah dia besarkan. Dia merupakan aktor utama suksesi transformasi diktatoris ke demokratis di Spanyol. Selama berkuasa dari 1975-2014 banyak jasa dia berikan bagi demokrasi. Pada awal berkuasa, banyak partai politik terbentuk dan pemilihan umum pertama terjadi sepanjang sejarah Spanyol.  Keadaan berkehendak lain, di akhir kekuasaannya dia harus menikmati hal pahit. Dia harus menikmati sisa hidup jauh dari negeri yang telah dia bangun. Perkara korupsi memaksa dirinya meninggalkan Spanyol. Penggemar klub sepakbola Real Madrid itu harus menghadapi sangkaan menerima komisi (gratifikasi) dari konsorsium pelaksana project kereta api cepat di Arab Saudi. Dana sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 Triliun diduga dia terima dari mendiang Raja Abdullah p

Usulan Senjata Api

Usulan ketua MPR, Bambang Soesatyo, kepada Kapolri, Idham Aziz, agar masyarakat dipermudah memiliki senjata api merupakan satu gagasan menyeramkan. Beragam tanggapan muncul. Di ranah media sosial (medsos) berkembang pemikiran liar bahwa usulan tersebut mirip cara Partai Komunis Indonesia (PKI)  mengusulkan agar kaum buruh dan petani dipersenjatai. Saya pribadi, tidak sampai sejauh itu berpikirnya. Terlalu paranoid.  Izin kepemilikan senjata api sudah ada di Indonesia. Tetapi, pemberian izin kepemilikan senjata api hanya bisa diberikan kepada individu terkait dengan jabatan/pekerjaan dengan tingkat resiko/ancaman tinggi. Jadi, usulan kepemilikan senjata api sejatinya bukan hal baru.  Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ialah tugas Kepolisisan Republik Indonesia (Polri). Di sisi lain, setiap warga negara juga wajib menjaga keselamatan dirinya  dan tidak bisa sepenuhnya menyandarkan  keselamatan diri kepada Polri. Saya sebagai warga negara sangat tidak setuju dengan usulan Ketua MP

Menyikapi Penutupan Masjid

Berita memprihatinkan saya baca pada hari Minggu, 2 Agustus 2020 mengenai adanya penutupan masjid oleh pemilik masjid. Tidak berselang lama, akhirnya masjid itu kembali dibuka untuk kegiatan ibadah. Bukan pada durasi waktu masjid tersebut ditutup, melainkan alasan penutupan masjid yang menjadi concern tulisan ini. Perbedaan "aliran" antara pemilik masjid dengan masyarakat menjadi sebab munculnya peristiwa di atas. Pemilik masjid beraliran salaf sedangkan masyarakat beraliran seperti keumuman mereka beragama selama ini.  Perbuatan menutup masjid hanya karena para jama'ah berbeda "aliran" tentu bukanlah sikap bijak.  Sejujurnya saya tidak sependapat dengan terminologi "aliran" seperti diberitakan. Saya lebih memilih mengganti "aliran" dengan "manhaj". Manhaj memiliki arti metode beragama. Manhaj salaf, sebagaimana yang dianut pemilik masjid, adalah metode beragama dengan meneladani generasi salaf yaitu shahabat , tabi'in dan

Rambut Pirang Pasha

Rambut pirang Wakil Walikota Palu, Pasha, menjadi trending di sejumlah berita di pekan lalu. Banyak polemik muncul berkaitan dengan tampilannya tersebut. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan teguran kepada yang bersangkutan terkait gaya rambutnya. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh pria bernama lengkap Sigit Purnomo Syamsuddin Said mengenai hal itu. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen OTDA), Akmal Malik, menegaskan hal tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada aturan mengenai larangan mewarnai rambut bagi seluruh kepala daerah di Indonesia. Ketiadaan aturan sebagai landasan hukum pelarangan mewarnai rambut memberi arti bahwa setiap kepala daerah di Indonesia bebas menentukan style warna rambut sesuai kemauan masing-masing. Sangat mudah dipahami.  Namun, ketiadaan aturan hukum tentang style warna rambut bukan berarti setiap pejabat negara bebas bertindak sekehendaknya. Satu penilaian tidak kalah penting daripada aturan hukum ial

Sekolah Swasta

Kemarin, saya membahas polemik pernyataan Mendikbud tentang sekolah negeri.  Kini, saya  mengulas sedikit tentang sekolah swasta. Harus dikatakan secara jujur bahwa kiprah masyarakat dalam dunia pendidikan telah lebih dulu ada sebelum berdirinya Republik Indonesia. Berpijak kenyataan di atas,  keberadaan sekolah swasta sewajarnya tetap dipertahankan keberadaannya.  Saya mencoba membagi dua jenis sekolah swasta, yaitu sekolah swasta favorit dan sekolah swasta mediocre . Sekolah swasta favorit mampu bersaing dengan sekolah negeri dalam menggaet  siswa. Tetapi, sekolah swasta mediocre dengan kualitas tak sebaik sekolah swasta favorit mengalami kesulitan dalam keadaan tersebut.  Sebagian pihak berpendapat bahwa kekurangan siswa menjadi sebab utama ancaman kebangkrutan sekolah swasta mediocre , itu  benar.  Namun, saya berpendapat bahwa sedikitnya jumlah siswa di sekolah swasta mediocre ialah akibat  mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta mediocre tetapi  kualitas pendidikan tidak s

Sekolah Negeri Terbuka bagi Seluruh Lapisan Masyarakat

Beberapa hari lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mangeluarkan pernyataan kontroversial bahwa sekolah negeri seharusnya hanya untuk lapisan masyarakat ekonomi rendah. Saya sedih mendengar hal tersebut. Seolah-olah strata ekonomi menjadi faktor tunggal  munculnya pernyataan tersebut. Saya menghargai  statement  Mendikbud. Namun, saya tidak melihat seperti demikian. Bukan pula membantah ucapan "Mas Menteri".  Sekolah didirikan sebagai salah wujud nyata bernegara yaitu mencerdaskan, membentuk karakter dan akhlak mulia bagi setiap anak bangsa, tanpa terkecuali.  Dalam perkembangannya, terjadi dikotomi kepemilikan sekolah yakni : sekolah negeri yang dimiliki negara dan sekolah swasta yang dimiliki oleh masyarakat.   Setidaknya tiga pertimbangan rasional digunakan oleh orang tua siswa untuk mendaftarkan anak mereka ke sekolah negeri. Pertimbangan itu menjadi Daya Tarik tersendiri.  Daya Tarik sekolah negeri bukan berarti ia lebih baik daripada sekolah swasta. Bu