Skip to main content

Posts

Kembali ke Sekolah

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, menolak dibukanya kembali sekolah di saat belum berakhirnya pandemi Corona. Pernyataan tersebut menyisakan pertanyaan bagaimana cara agar hak mendapat pendidikan bagi anak sekolah tetap terpenuhi meski pandemi Corona belum usai. Pernyataan Ketua Komnas PA bisa dipahami. Ia berpijak pada aspek keselamatan siswa terhindar dari  virus Corona lebih utama. Di sisi lain, pembelajaran jarak jauh (PJJ) sangat dirasa tidak efektif bagi siswa, orang tua siswa dan guru. Bahkan, hal diatas diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Itu terbukti lewat survei yang dilakukan oleh Komosi Perlindungan Anak Indonesia terhadap 1700 siswa dari berbagai jenjang sekolah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 76,7 % responden mengatakan tidak menyukai metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan sebanyak 23,3 % responden mangatakan terkesan dalam mengikuti metode pembelajaran jarak jauh. Melihat hal demikian, Mendikbud berkeinginan agar seko

Toleransi

Apapun alasannya kekerasan fisik tetap tidak dibenarkan terlebih kepada orang yang tidak memulai pertikaian. Terjadinya kasus kekerasan berupa penyerangan oleh sekelompok orang ke satu keluarga di Solo kembali memunculkan isu pentingnya toleransi. Terkait insiden tersebut, saya tetap percaya bahwa Kepolisian Republik Indonesia (polri) mampu menuntaskan secara professional.  Toleransi diartikan sebagai sikap saling menghargai dan menghormati antar kelompok atau antar individu dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam beragama tentu wajib dihadirkan sikap toleransi.  Ketika saya berbincang dengan seorang teman, ia kerap memaknai toleransi beragama sebagai sikap selalu mengalah demi kebaikan meskipun menabrak sejumlah norma yang selama ini dianut dalam bermasyarakat. Ia juga merasakan bahwa sikap toleransi beragama seringkali diarahkan kepada agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat. Saya  sependapat dengan pernyataan  teman saya tersebut, tetapi hanya sebagian.  Saya pribadi mesti berhati

Bintang untuk "Duo F"

Banyak yang heran ketika ada informasi mengenai Presiden Joko Widodo yang hendak menganugerahi Bintang Mahaputera Nararya kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Kedua tokoh itu terkenal memiliki "lidah pedas" terhadap pemerintahan Joko Widodo sejak awal terpilih sebagai Presiden hingga sekarang. Beberapa surat kabar menamai kedua orang tersebut dengan "Duo F". "Lidah pedas" kedua tokoh tersebut berisikan sejumlah kritik terhadap Presiden Joko Widodo. Hampir setiap saat "Duo F" mengkritik secara tajam berbagai kebijakan presiden.  Akibat seringnya mengkritik presiden,  keduanya dinamai tukang nyinyir oleh sebagian warganet yang berbeda sikap politik dengan keduanya.  Bagi saya, tidak masalah mereka digelari tukang nyinyir selagi kritik yang diarahkan ke Presiden Joko Widodo bersifat objektif. Setelah ramai tersiar rencana penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada "Duo F", muncul sikap nyinyir yang tidak kalah pedas daripada kritik me

Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi idaman bagi sebagian besar orang. Jaminan pensiun, kenyamanan kerja dan berbagai fasilitas merupakan beberapa alasan yang menjadi motivasi meraih pekerjaan sebagai ASN. Menyandang status ASN tidak selalu menjadi  kabar gembira. Setidaknya hal itu terjadi di lingkungan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status pegawai KPK sebagai ASN tertuang dalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi yuridis terhadap Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019. Alih status pegawai KPK sebagai ASN sejatinya bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Memberantas Korupsi  (United Nations Convention Againts Corruption)  dimana Indonesia ikut meratifikasi hal itu. PP No. 41 Tahun 2020 memperlihatkan bahwa saat ini  keberadaan KPK merupakan  bagian dari pemerintah

Erick Thohir Enggan Jadi Relawan Uji Vaksin Covid-19

Banyak tanggapan negatif terkait sikap enggan Erick Thohir menjadi relawan uji vaksin Covid-19.  Saya yakin munculnya tanggapan negatif masyarakat berawal dari dari statement Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut yang menyatakan bahwa rakyat harus didahulukan menjadi relawan dalam uji vaksin Covid-19. Sementara itu, ia beranggapan bahwa tidak elok bila pemimpin lebih dahulu menjadi relawan dalam uji vaksin itu. Klausa 'rakyat harus didahulukan dalam uji vaksin Covid-19' seakan-akan rakyat harus lebih dahulu pasrah menerima  hasil  tidak pasti dari suatu pekerjaan.  Ada yang memberi tanggapan sinis bahwa bila konteksnya bukan uji vaksin Covid-19, maka yang 'didahulukan' ialah para mereka yang berada di lingkaran  kekuasaan.  Banyaknya tanggapan negatif dari masyarakat mengisyaratkan penilaian bahwa Erick Thohir  terkesan memiliki sikap egois, tidak bisa memberi keteladanan dan enggan menanggung resiko bila kemudian hari vaksin Covid-19 tidak efektif.  Tangg

Calon Tunggal

Calon tunggal merupakan sebuah keharusan  bagi mereka yang ingin menikah. Tentu, adanya calon tunggal dan dicintai merupakan sebuah kebahagiaan.  Dalam konteks demokrasi, adanya calon tunggal bukanlah suatu kebahagian. Sebaliknya, hal itu justru mendatangkan kesedihan. Kesedihan karena masyarakat tidak bisa memilih satu diantara yang terbaik untuk menjadi pemimpin. Pilkada yang dijadwalkan berlangsung pada Desember 2020 berpotensi menjadi ajang memilih calon tunggal di pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Surakarta. Sampai hari ini, hanya Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa menjadi satu satunya pasangan calon yang diusung hampir seluruh partai politik di Kota Surakarta. Saya tidak tertarik membahas profil kedua orang tersebut sebagai pasangan calon tunggal peserta pilkada Kota Surakarta. Munculnya pasangan tunggal di pilkada merupakan pertanda kemunduran demokrasi. Partai politik yang semestinya tempat melahirkan pemimpin berkualitas seolah tidak berdaya dalam mewujudkan hal ter

Miskin Karena Menikah Sesama Miskin ?

Pernyataan Menteri Koordinator  Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy bahwa keluarga miskin terbentuk karena orang miskin menikah dengan orang miskin sungguh tidak mencerminkan kualitas seorang menteri. Statement tersebut lebih layak keluar dari mulut seseorang dengan latar belakang pendidikan rendah.  Pernyataan Menko PMK itu bisa dipastikan memunculkan lebih banyak tanggapan menentang (kontra) daripada mendukung (pro). Tidak ada studi valid yang membuktikan bahwa keluarga miskin terbentuk dari pernikahan sepasang suami-istri berlatar belakang ekonomi lemah. Untuk mengatasi kemiskinan, Menko PMK memiliki "jurus sakti" menghentikan kemiskinan yaitu Program Bimbingan Pranikah.  Saya termasuk pihak yang meragukan efektivitas program tersebut.  Kita bertanya pada keluarga kaya, apakah dulu ia mengikuti pelatihan semisal Program Bimbingan Pranikah sehingga menjadi kaya seperti sekarang ? Kita bertanya pula pada keluarga miskin, apakah dulu ia tidak me