Skip to main content

Posts

Ibrah

Ia seorang da'i. Sering disebut sebagai Ustadz Yusuf Mansur. Harus saya katakan bahwa ada keprihatinan mendalam terhadap kondisi Yusuf Mansur saat ini. Ketika ia terbaring lemah di rumah sakit, ia sempatkan memohon doa kepada warganet agar diberi kesembuhan dan diangkat penyakitnya oleh Allah. Sebagai sesama muslim, tentu saya bersedih melihat keadaannya terbaring di rumah sakit. Semoga Allah Menyembuhkan sakitnya. Aamiin... Membaca komentar para warganet, saya merasa lebih sedih. Saat harus mendoakan seorang da'i, justru terjadi pertentangan diantara umat. Sebagian mendoakan kesembuhannya. Sebagian lagi berkomentar negatif. Akibatnya, timbul silang pendapat antar warganet. Saya menghargai warganet yang bersimpati mendoakan dan mendukung Yusuf Mansur agar lekas sembuh. Hal ini merupakan perkara ma'ruf bagi sesama muslim untuk saling mendoakan.  Saya bisa memahami alasan warganet melontarkan berbagai komentar negatif kepadanya saat ini. Meskipun, saya tidak membenarkan

Kebakaran Gedung Korps Adhyaksa

Breaking News semalam menayangkan peristiwa kebakaran  yang terjadi di gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Berita tersebut menjadi kabar mengagetkan, setidaknya bagi saya. Terbesit pertanyaan di benak saya kenapa gedung Kejaksaan Agung yang termasuk objek vital negara bisa terbakar hebat. Bahkan, butuh waktu sekitar 11 jam untuk memadamkannya. Saya berbincang ke sejumlah orang terdekat mengenai peristiwa semalam. Sebagian besar menaruh curiga tentang terbakarnya gedung korps adhyaksa tersebut. Sebagian teman yang saya temui mengatakan bahwa kebakaran gedung Kejaksaan Agung terjadi karena kesengajaan. Kecurigaan tersebut terkait beberapa kasus besar saat ini yang sedang dituntaskan Kejaksaan Agung yakni : kasus skandal Jiwasraya, kasus Djoko Tjandra, sejumlah kasus besar korupsi merugikan Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara, Danareksa Sekuritas serta berbagai kasus besar lainnya. Kebakaran sengaja dilakukan untuk memusnahkan sejumlah besar dokumen yang berkaitan dengan pengusutan

Kebahagiaan Kecil

Tadi malam selepas shalat Isya' suhu udara terasa dingin. Kata pakar klimatologi, terdapat anomali cuaca di bulan Agustus saat ini.  Seharusnya bulan ini masuk musim kemarau, namun masih ada hujan meski tidak terlalu deras. Yaa sudah, saya ikuti apa yang disampaikan pakar yang kompeten di bidangnya. Karena nggak ada kesibukan, saya mencari-cari kesibukan kecil di rumah. Kebetulan juga, masih ada singkong mentah yang telah dikupas kulitnya.  Saya potong batang singkong  menjadi beberapa bagian kecil. Lalu, dengan air mengalir saya bersihkan setiap potongan singkong tersebut. Selesai.  Kini saatnya mengisi panci kecil dengan air dan saya masukkan sejumlah potongan kecil singkong mentah ke dalamnya. Saya tempatkan panci berisi air dan sejumlah potongan singkong mentah di atas kompor gas. Saya putar ke kiri putaran pada kompor gas sehingga api menyala memanasi panci berisi air dan singkong mentah.  Sembari menunggu matangnya beberapa potongan singkong tersebut, saya mencari "tema

Buzzer

Saya sependapat dengan pernyataan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, bahwa buzzer dan influencer diberdayakan untuk mempromosikan sejumlah kebijakan pemerintah di media sosial.  Bagi saya,  buzzer  lebih menarik ditulis karena keberadaannya  berdampak negatif bagi warganet  (netizen) . Bila tujuan buzzer untuk menggemakan berbagai kebijakan pemerintah, maka buzzer seharusnya aktif mengunggah beragam narasi positif di media sosial (medsos). Sayangnya,  buzzer   mengalami mutasi genetik pada tujuannya.  Saat ini, keberadaan buzzer tidak perlu ada. Masyarakat telah menemukan banyak cara mengetahui beragam kebijakan pemerintah melalui saluran informasi konvensional maupun digital. Demikian pula, setiap biro hubungan masyarakat (humas) di kementerian/lembaga/badan memiliki kewajiban menyampaikan informasi mengenai beragam kebijakan terkait institusinya.   Alih alih memberi kesan positif terhadap kebijakan pemerintah, populasi  buzzer di media sosial se

Da'i Bersertifikat

Rencana Menteri Agama, Fachrul Razi, memberlakukan program da'i (penceramah) bersertifikat menuai sejumlah tanggapan.  Penceramah bersertifikat diharapkan mampu mendakwahkan Islam rahmatan lil alaamin   sehingga dapat terbangun nilai nilai toleransi. Sebagai suatu niat, hal di atas patut diapresiasi. Namun pada pelaksanaannya, saya kurang sependapat bahwa sertifikasi da'i berdampak positif menurunkan angka intoleransi. Intoleransi tidak selesai dengan selembar sertifikat da'i. Menurut saya demikian. Intoleransi terjadi ketika ada dominasi pemeluk agama sehingga tercipta tirani mayoritas terhadap umat beragama lain. Ini sebuah fakta yang tidak bisa dihindari di Indonesia. Tetapi, saya tidak membenarkan bila dominasi mayoritas umat Islam di Indonesia membuat umat beragama lain  terintimidasi dalam kehidupan keseharian. Kecenderungan intoleransi selalu ada di setiap negara. Hal itu terjadi karena dominasi agama tertentu. Di Indonesia, saya bisa memaklumi bahwa intoleransi ker

KAMI

Alhamdulillah . Saya bersyukur dengan kehadiran KAMI (Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan tanggal 18 Agustus 2020, kemarin.   Banyak kalangan yang tidak mendukung keberadaan KAMI merupakan hal wajar. Namun, menjadi suatu hal yang aneh bila keberadaan KAMI ditanggapi secara negatif berlebihan bahkan cenderung paranoid. Sebagian menafsirkan KAMI sebagai "barisan sakit hati", sebagian menamakan KAMI sebagai "oposisi jalanan", sebagian menuding KAMI bertujuan melakukan makar kepada pemerintah dan beragam nyinyir tertuju kepada KAMI. Tidak menjadi persoalan besar semua itu. Sebagian besar hal baru seringkali mendapat resistensi. Saya merasa ada kekeliruan terlalu jauh bila mengaitkan KAMI sebagai sekumpulan individu yang hendak melakukan perlawanan politik kepada pemerintah. Penilaian saya tersebut berdasarkan delapan poin yang diucapkan saat deklarasi KAMI Selasa kemarin. Delapan poin KAMI ialah tersebut di bawah. 1. Mendesak penyelenggara negara

[Belum] Merdeka dari Kebodohan dan Kemiskinan

Setiap perayaan Hari Ulang Tahun  Republik Indonesia (HUT RI) selalu muncul pertanyaan tentang apakah kita sudah sepenuhnya merdeka. Pertanyaan di atas memiliki dua bentuk jawaban bergantung pada sudut pandang orang melihat. Satu . Benar bahwa rakyat Indonesia sudah merdeka dan berdaulat seiring dengan ketiadaan penjajahan dan hilangnya kolonialisme bangsa asing di Indonesia. Tidak ada silang pendapat tentang arti kata merdeka dalam konteks di atas.  Semua sepakat. Kedua . Bila kata merdeka dikaitkan dengan konteks kemajuan suatu bangsa, maka kata merdeka tidak akan pernah bisa tergapai.   Karena,  kemajuan suatu bangsa ialah proses yang berkelanjutan dan tiada akhir .  Dengan berpijak hal ini, kemerdekaan suatu bangsa sebenarnya bukan proses yang final . Merdeka  menjadi satu kata motivasi untuk terus menerus berjuang mewujudkan kemakmuran di segala bidang. Saya lebih tertarik membahas arti merdeka pada poin kedua tersebut. Dalam membangun dan memajukan kehidupan bangsa, ada dua po